UIN Alauddin Online- Dr Barsihannor M Ag resmi dikukuhkan sebagai profesor dalam bidang Pemikiran Islam pada Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Alauddin Makassar.
Ia dikukuhkan melalui Sidang Senat Terbuka Luar Biasa di Gedung Auditorium, Kampus II UIN, Selasa 28 Mei 2024.
Pada momen bersejarah ini, Dekan FAH Dua Periode ini menyampaikan pidato ilmiah yang berjudul "ERA DISRUPSI DAN SURGA PARADOKSAL: Epistemologi Islam dalam Menghadapi Perubahan Zaman".
Dalam pidatonya, Prof. Barsihannor menekankan pentingnya proses dialog dan integrasi antara agama dan sains di era disrupsi saat ini.
Menurutnya, Epistemologi Islam melalui falsafah Iqra menawarkan hubungan yang konstruktif dan produktif antara sains dan agama.
Ia menjelaskan bahwa konsep "membaca" yang terkait dengan nama Tuhan dan penciptaan manusia sebagaimana tertuang dalam QS. Al-Alaq mengisyaratkan perlunya dialog terus-menerus dalam setiap dinamika kehidupan.
Dialog ini, menurut Prof. Barsihannor, akan menghasilkan ruang ijtihad yang produktif dan transformatif dalam menjawab perubahan zaman yang masif.
Prof. Barsihannor juga menyoroti perkembangan sains dan teknologi, termasuk kecerdasan buatan (AI), yang telah membawa manusia ke dalam era Post-truth.
Di era ini, kebenaran tidak lagi berbasis data atau fakta, melainkan opini subjektif. Akibatnya, masyarakat kesulitan membedakan antara kebenaran dan kebohongan (hoax), serta antara fakta dan opini.
Kondisi ini, kata Prof. Barsihannor, bisa menjerat masyarakat awam bahkan kalangan intelektual.
Dia mencontohkan bagaimana teknologi seperti ChatGPT-AI dan Perplexity AI mampu menghasilkan teks akademis dengan kecepatan dan ketepatan yang mengagumkan. ChatGPT, misalnya, mampu menyusun naskah akademis dalam hitungan detik, jauh lebih cepat dibandingkan manusia.
Meski teknologi ini membawa banyak manfaat dan kemudahan, ia juga menimbulkan ancaman. Seperti yang pernah dirasakan fisikawan terkenal, Albert Einstein, bahwa sains dan teknologi yang seharusnya mempermudah kehidupan malah bisa membawa malapetaka.
Prof. Barsihannor mengingatkan bahwa paradigma peradaban yang hanya mengandalkan kekuatan akal, tanpa memperhatikan dimensi spiritual, akan menghasilkan "surga paradoksal".
Peradaban semacam ini mungkin mampu menyediakan berbagai kesenangan, tetapi gagal memberikan ketenangan. Oleh karena itu, diperlukan keseimbangan antara kemajuan sains dan nilai-nilai spiritual untuk menciptakan peradaban yang benar-benar sejahtera dan damai.