UIN Alauddin Online - Wakil Rektor II Bidang Administrasi Umum, Perencanaan, dan Keuangan UIN Alauddin Makassar, Prof. Dr. Andi Aderus, Lc., M.A., menyampaikan bahwa Teologi Wasatiyyah merupakan solusi strategis dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, khususnya dalam merespons krisis spiritual dan ideologis yang disebutnya sebagai bencana teologis.
Pernyataan tersebut disampaikan Prof Andi Aderus dalam Sidang Senat Terbuka Luar Biasa Pengukuhan Guru Besar yang digelar di Auditorium Kampus II UIN Alauddin Makassar, Rabu 9 Juli 2025. Dalam orasi ilmiahnya, ia mengangkat tema besar seputar tantangan kontemporer keagamaan dan pentingnya pendekatan teologis yang inklusif dan moderat.
Menurutnya, bencana teologis adalah bentuk krisis keagamaan yang memiliki daya rusak luar biasa tinggi, bahkan melampaui dampak bencana alam. Jika bencana alam bisa ditanggulangi dalam hitungan bulan hingga tahun, maka bencana teologis, sebaliknya, berdampak lintas generasi dan menimbulkan kerusakan sosial serta ideologis yang mendalam.
“Bencana teologis menyebabkan perpecahan, kekerasan atas nama agama, dan kebekuan pemikiran yang menghambat kemajuan umat. Ini bukan hal sepele, tapi ancaman jangka panjang bagi peradaban,” ujar Prof Aderus dalam pidatonya.
Ia mencontohkan bahwa sejarah umat Islam telah berkali-kali mengalami bentuk-bentuk bencana teologis. Di antaranya munculnya gerakan ekstremis seperti Khawarij, konflik berkepanjangan antara Sunni dan Syiah, rasionalisme ekstrem ala Mu’tazilah, serta taqlid buta yang mengekang kebebasan berpikir.
Dalam konteks Indonesia dan dunia Islam saat ini, Prof Aderus menekankan pentingnya kembali pada prinsip-prinsip dasar Wasatiyyah yaitu ajaran Islam yang bersifat tengah, adil, inklusif, dan tidak ekstrem ke salah satu sisi. Pendekatan ini diyakini mampu meredam potensi konflik dan memperkuat kohesi sosial.
“Wasatiyyah bukan sekadar posisi moderat, tapi juga landasan teologis untuk membangun kehidupan beragama yang harmonis dan beradab. Ini sekaligus menjadi basis untuk membentuk tatanan kebangsaan yang adil dan damai,” tegasnya.
Ia menyebut sejumlah tokoh besar Islam yang menjadi representasi nyata dari prinsip Wasatiyyah. Misalnya, Abu Hasan al-Asy’ari yang memosisikan diri sebagai poros tengah antara dua kutub ekstrem dalam teologi Islam, dan Imam al-Ghazali yang berhasil memadukan antara fikih dan tasawuf secara harmonis.
Prof Aderus juga mengangkat pemikiran Muhammad Abduh, tokoh pembaharu dari Mesir yang mengkritik taqlid dan membangkitkan kesadaran umat akan pentingnya pembaruan pemikiran Islam. Ia dianggap berhasil membongkar kebekuan nalar umat akibat dominasi doktrin tanpa kritik.
Selain itu, ia menyoroti kontribusi Imam al-Syafi’i yang melakukan sintesis antara pendekatan tekstual (nash) dan rasional (ra’yi). Pendekatan ini berhasil meredam konflik antar mazhab dan menjadi fondasi kuat dalam pengembangan metodologi fikih yang proporsional.
Melalui berbagai contoh tersebut, Prof Aderus ingin menekankan bahwa Teologi Wasatiyyah bukanlah konsep abstrak, melainkan pendekatan yang telah terbukti secara historis dan relevan dalam menjawab tantangan keagamaan masa kini.
Dalam orasinya, ia mengajak para akademisi dan pemimpin umat untuk mengarusutamakan pendekatan Wasatiyyah dalam pendidikan, dakwah, serta kebijakan publik. Hal ini dinilai krusial untuk menanggulangi radikalisme, intoleransi, serta krisis identitas di tengah masyarakat modern.
“Kita tidak bisa hanya bicara moderasi di tataran wacana. Kita harus menanamkan Wasatiyyah sebagai kesadaran kolektif, mulai dari kampus, pesantren, hingga ruang publik digital,” ujar Prof Aderus menutup orasinya.