Gambar Tukang Sol Sepatu Jadi Guru Besar

Tukang Sol Sepatu Jadi Guru Besar

Mungkin tak ada yang  pernah terpikirkan bahwa tukang sol sepatu dapat meraih gelar guru besar. Apa lagi jika melihat kondisi dan latar belakang keluarganya. Hal ini lah yang terjadi pada Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar, Prof Dr Mardan MAg.

Saat ditemui reporter UIN Online, di ruangannya, Jum’at (11/03/2011), ia membagi sedikit kisah hidupnya selama menjadi mahasiswa. Untuk menjadi seorang guru besar tidaklah hal yang mudah tapi melalui proses cukup panjang dan usaha yang keras.

Berkat dorongan orang tuanyalah yang menginginkan anaknya bisa mengenyam pendidikan agama, ayah satu anak ini memilih UIN --yang dulunya IAIN-- menjadi tujuannya untuk melanjutkan pendidikan.

Dekan Fakultas Adab ini teringat saat pertama kali menginjakkan kaki di IAIN, ia menanyakan pada panitia, jurusan apa yang paling sedikit pendaftarannya dan banyak mahasiswa yang akan diterima.

Pada saat itu fakultas adab menerima  150 orang mahasiswa dan waktu itu hanya 3 orang pendaftar. Akhirnya suami dari Dra Mukhminah ini mendaftar di jurusan bahasa dan sastra arab dan dinyatakan lulus.

Tantangan berikutnya, setelah lulus di fakultas adab pun dialaminya. Dan pada minggu-minggu pertama perkuliahan, bapak kelahiran 12 november ini, merasa putus asa. Semuanya karena kesulitan dalam menyesuaikan bahasa.

Hal itu dikarenakan ia ini berasal dari sekolah umum (SMA) dan tidak tahu bahasa arab. Akhirnya Mardan muda memutuskan untuk pulang kampung. Tapi setelah mendapatkan nasehat orang tuanyalah ia ke Makassar dan melanjutkan kuliah.

“Saat itu saya merasa putus asa, saya teringat pesan ibu saya ia pernah mengatakan bahwa, tidak ada professor yang  pintar, tanpa proses belajar. Dan jika saya sudah mengangkat koper, pantang untuk mundur. Itulah yang selalu memotivasi saya," kenangnya.

Kata-kata bijak yang diberikan ibu tersebut, selalu diingat Prof Mardan. Dan berkat kerja keras ia berhasil membuktikannya, menjadi sarjana dengan lulusan terbaik dan tercepat pada saat itu. Mardan muda menjadi sarjana sastra arab dalam waktu sepuluh semester.

Selanjutnya, ia melanjutkan studinya tahun 1991 untuk mengambil gelar magister. Alhasil ia dapat menyelesaikan studi dalam kurun waktu dua tahun enam bulan dan menjadi angkatan pertama tercepat selesai.
 
Karena terbentur biaya putra kelahiran Maros ini, baru dapat melanjutkan studi doktornya di UIN pada tahun 2003. Saat mengambil gelar doktornya ia bahkan sempat menjadi salah satu peserta pertukaran pelajar di Mesir.

“Pada saat itu saya mendapat kabar dari pak Muis lewat internet, ada beasiswa ke Mesir untuk pertukaran mahasiswa S3 tafsir. 15 orang yang diterima dan saya salah satu di antaranya,” tutur ayah dari satu orang anak ini.

Dan ia berhasil menyelesaikan kuliahnya pada tahun 2007. Dan diangkat menjadi dekan pada tahun 2008. “Saya duduk di sini (kursi dekan, red) bukan karena keinginan saya, tapi dorongan dari teman-teman hingga saya berada disini,” ujarnya.

Dua bulan setelah menjabat sebagai dekan fakultas adab dan humaniora, ia kemudian memperoleh gelar guru besar. Dan semua terjadi karena keberuntungan terus berada di pihaknya.

Keluarga Petani
Sekilas, banyak orang beranggapan untuk mendapatkan gelar guru besar tidak perlu memeras keringat. Tapi, lain halnya dengan Prof Dr Mardan MAg. Ia pernah merasakan bagaimana sulitnya mendapatkan uang.

Hal ini ia rasakan ketika masih duduk di semester tiga IAIN Alauddin, Makassar. Selama empat bulan ia mencari uang dengan menjahit sepatu di Pa’baeng-baeng (Pasar Pa’baeng-baeng, Makassar, red).

“Keluarga saya hanyalah petani padi, untuk makan dalam setahun pun bisa dikatakan sangat sulit. Saya usaha untuk mencari kerja. Dan pada saat itu ada teman dari Tana Toraja yang mengajak kerja sebagai tukang jahit sepatu. Hal ini saya lakoni selama empat bulan,” terangnya.

Tidak sampai di situ, pimpinan yang dikenal ramah pada bawahannya juga menjelaskan bahwa pernah menjadi buruh bangunan. "Saya bekerja selama dua hari dan saat itu mata saya mengeluarkan keringat dingin. Akhirnya saya memutuskan untuk berhenti,” tambahnya diiringi lelehan air mata saat bercerita pada reporter UIN online.

Hidup tidak selamanya dilalui dengan kerikil tajam. Saat semester lima kehidupan dari dosen ahli tafsir ini mulai membaik. Ia mulai di panggil di beberapa perusahaan dan di rumah dosen-dosen IAIN untuk mengajarkan anaknya mengaji.

Yang menjadi pegangannya sampai saat ini adalah bakat dan minat itu ada bawaan dari lahir dan ada juga datang dengan sendirinya dibarengi dengan usaha dan kerja keras.

“Kesungguhan, disiplin, dan percaya diri membawa kita pada keberhasilan, seperti kata ibu saya, jika kita berilmu maka pekerjaanlah yang mencari kita,” ujar bapak kelahiran tahun 1959 ini. (Eka Novi Fitrianty B/UIN Online)

Tips-tips Prof Mardan:
1. Harus tanamkan pada diri sikap percaya diri, kenapa orang lain bisa kenapa saya tidak.
2. Kerja keras dalam melakukan segala hal.
3. Membangun jaringan sebanyak-banyaknya.
4. Pendekatan spiritual kepada Allah SWT.
5. Menghargai orang lain.(*)
Previous Post Prodi Akuntansi UIN Alauddin Gelar Tes TOEFL bagi Calon Mahasiswa Kelas Internasional
Next Post UIN Alauddin Makassar Gelar 3.000 Khataman Al-Qur’an, Dukung Target Nasional 350.000 Khataman Kemena