UIN Alauddin Online – Seminar bertajuk 'UU ITE: Solusi atau Pembungkaman' yang digelar Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar, menghadirkan analisis mendalam tentang Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). Acara yang berlangsung pada Kamis, 23 Oktober 2025 ini menyoroti urgensi sekaligus potensi permasalahan yang muncul dari penerapan undang-undang tersebut di era digital.
Sebagai pembicara kunci, Guru Besar UIN Alauddin Makassar, Prof. Dr. H. Firdaus Muhammad, MA, menegaskan bahwa UU ITE pada dasarnya merupakan kebutuhan mendesak di tengah perkembangan teknologi informasi yang pesat.
"Undang-undang ini kebutuhan," tegasnya, seraya menambahkan bahwa regulasi tersebut bahkan mungkin terlambat untuk mengatur ruang siber yang semakin kompleks.
Ia menekankan pentingnya UU ITE sebagai instrumen perlindungan data pribadi, penanggulangan kejahatan siber, dan pencegahan hoaks, sembari mengakui bahwa revisi reguler tetap diperlukan agar undang-undang ini relevan dengan kemajuan teknologi dan dinamika masyarakat digital.
Meski demikian, Prof. Firdaus juga menyoroti dilema utama UU ITE yang kerap dikaitkan dengan potensi pembungkaman kebebasan berekspresi, terutama di kalangan mahasiswa dan aktivis.
“Undang-undang ini juga ditengarai membungkam ruang ekspresi karena banyaknya pasal-pasal karet yang multitafsir,” jelasnya. “Potensi kriminalisasi terhadap kritik di media sosial atau saat demonstrasi dapat menimbulkan rasa takut dan mendorong sikap bungkam,” lanjutnya.
Melanjutkan diskusi, Advokat Muslim Haq, M.Sh., M.H., yang juga Direktur Program Republik Institut, menyoroti perkembangan hukum terbaru pasca sejumlah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memberikan “angin segar” bagi kebebasan berekspresi.
Ia menjelaskan bahwa putusan MK terkait Pasal 27A tentang pencemaran nama baik kini memperjelas makna “orang lain” sebagai individu perseorangan, bukan lembaga atau jabatan. Pasal ini juga ditegaskan sebagai delik aduan, yang berarti hanya dapat diproses jika ada pihak yang merasa dirugikan dan melapor.
Selain itu, Muslim Haq juga menyinggung Putusan MK Nomor 115 Tahun 2024 yang mengatur penyebaran informasi bohong (Pasal 28 Ayat 3 dan 45A Ayat 3).
“MK menyatakan bahwa frasa ‘kerusuhan’ harus dimaknai sebagai kondisi yang mengganggu ketertiban umum di dunia nyata, bukan sekadar kegaduhan di ruang digital,” paparnya. “Hal ini membatasi potensi kriminalisasi terhadap ekspresi di media sosial,” tambahnya.
Kedua narasumber sepakat bahwa meski terdapat perkembangan positif dari sisi hukum, literasi digital dan kehati-hatian dalam berkomunikasi di ruang siber tetap mutlak diperlukan. Muslim Haq bahkan menyarankan agar masyarakat, khususnya mahasiswa, lebih fokus mengkritik kebijakan dan jabatan publik, bukan menyerang individu secara personal, sebagai langkah mitigasi terhadap potensi pelanggaran UU ITE.
Seminar ini merupakan bagian dari pembukaan Festival Komunikasi (Festco) 2025 sekaligus perayaan Milad ke-26 Jurusan KPI UIN Alauddin Makassar. Kegiatan ini dinilai sukses memberikan pemahaman komprehensif kepada mahasiswa mengenai kompleksitas UU ITE — sebagai kebutuhan hukum, solusi teknologi, sekaligus potensi ancaman terhadap demokrasi digital.
Penulis: Nurlatifah - Mahasiswa Magang Prodi KPI
Alat AksesVisi