UIN Online - Jagung merupakan salah satu komoditas utama masyarakat Desa Tombolo Kecamatan Kelara Kabupaten Jeneponto. Usai dipanen, para petani menjual hasil panen dalam bentuk jagung kupas atau biji-biji jagung yang telah dipipil, sementara kulit jagung umumnya hanya dimanfaatkan sebagai makanan hewan ternak atau dibakar.
Hal itu mendorong mahasiswa Kuliah Kerja Nyata (KKN) Angkatan 62 UIN Alauddin Makassar di desa tersebut untuk memberikan pelatihan pemanfaatan limbah jagung menjadi produk kerajinan tangan yang lebih memiliki nilai jual.
Salah satu mahasiswa KKN Angkatan 62 UIN Alauddin Posko 8 Desa Tombolo Kecamatan Kelara Kabupaten Jeneponto, Maghfirah Sayyid Mawaddah memaparkan proses pembuatan bunga bermula dari mengumpulkan dan memilah kulit jagung. Kulit jagung yang dipilih, ujarnya, adalah kulit jagung hasil pengupasan manual karena kulit jagung yang dikupas oleh mesin bentuknya telah hancur sehingga tidak dapat dimanfaatkan untuk membuat bunga.
“Proses selanjutnya adalah pemberian warna kulit jagung. Kulit jagung saat direbus dapat diwarnai dengan menggunakan wanteks atau pewarna tekstil. Setelah itu, kulit jagung didinginkan dan dikeringkan hingga sekitar 75 persen,” jelas mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora tersebut.
Mage sapaan akrabnya menambahkan, kulit jagung perlu disetrika agar diperoleh bentuk permukaan yang lurus, tidak melengkung atau bergelombang sehingga mudah dibentuk. Kemudian, langkah yang dikerjakan selanjutnya adalah membuat bagian-bagian bunga seperti mahkota bunga dan putik atau benang sari, dengan memakai gunting, kemudian merangkai bagian-bagian bunga menjadi satu dengan kawat.
“Untuk merangkai mahkota bunga dan putik atau benang sari perlu keterampilan, ketelatenan, kehati-hatian, dan kesabaran sehingga bisa menghasilkan bunga yang indah dan cantik,” ujar Mage.
Meski mendapat sambutan yang baik dari warga desa, Mahasis jurusan Bahasa dan Sastra Arab itu mengaku masih menemui berbagai kendala dalam mengembangkan potensi pemanfaatan limbah kulit jagung ini karena belum banyak warga yang terlibat dalam mengikuti pelatihan yang diberikan.
“Sulit menentukan waktu untuk membuat jadwal dengan ibu-ibu karena kesibukan yang berbeda-beda, terlebih kebanyakan masyarakat bekerja di ladang dari pagi hingga sore hari. Di samping itu, juga belum ada kesediaan ibu-ibu dalam menekuni pekerjaan membuat kerajinan tangan,” ujarnya.
“Saya berharap semoga program ini dapat berlanjut dan menjadi usaha kecil masyarakat sehingga pendapatan masyarakat Desa Tombolo ini dapat bertambah melalui pemanfaatan sumber daya alam yang tersedia di sekitar desa ini,” tambahnya.