Gambar UIN Alauddin Kukuhkan Guru Besar Historiografi Islam, Prof. Syamzan Bahas Dialektika La Galigo dan I

UIN Alauddin Kukuhkan Guru Besar Historiografi Islam, Prof. Syamzan Bahas Dialektika La Galigo dan I

UIN Alauddin Online – Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar secara resmi mengukuhkan Prof. Dr. Hj. Syamzan Syukur, M. Ag. sebagai Guru Besar Tetap dalam Bidang Historiografi Islam pada Senin, 14 Oktober 2025. Dalam pidato pengukuhannya, Prof. Syamzan membawakan kajian mendalam berjudul 'TRANSFORMASI KULTURAL: La Galigo dan Jejak Islamisasi dalam Historiografi Sulawesi Selatan.'

Kajian tersebut secara khusus menyoroti strategi unik masyarakat Bugis dalam merekonsiliasi mitos kuno mereka, La Galigo, dengan ajaran agama baru yaitu Islam. Sidang Senat Terbuka Luar Biasa hari itu dipimpin oleh Ketua Senat, Prof. Dr. Mardan, M. Ag., dan diresmikan oleh Rektor UIN Alauddin Makassar, Prof. Dr. H. Hamdan Juhannis, M. A., Ph. D.

Pengukuhan ini merupakan bagian dari penambahan empat Guru Besar baru di UIN Alauddin. Prof. Syamzan Syukur sendiri dikukuhkan sebagai Guru Besar dari Fakultas Adab dan Humaniora.

Dalam paparannya, Prof. Syamzan menjelaskan bahwa La Galigo merupakan epos terpanjang di dunia yang diakui UNESCO sebagai Memory of the World Heritage pada tahun 2011. Epos ini merupakan narasi mitologis penting yang menggambarkan kosmologi dan nilai sosial masyarakat Bugis pra-Islam.

Namun, pasca-Islamisasi di Sulawesi Selatan, terjadi lompatan pergeseran dalam narasi sejarah yang kemudian menciptakan tumpang tindih antara warisan La Galigo yang berbasis mitologis dengan narasi historis Islam yang berbasis teologis. Narasi Islam melalui lontaraq didorong sebagai narasi resmi yang lebih valid secara religius, bahkan terkadang La Galigo direduksi sebagai mitos yang tidak relevan.

“Dalam memori kolektif masyarakat Bugis, kami menemukan adanya 'historiografi ganda'," ujar Profesor Syamzan Syukur. 

"La Galigo berfungsi untuk menjaga identitas etnis dan kearifan kultural, sementara Islam menjadi kerangka religius dan moral yang mengikat; keduanya tidak saling meniadakan, melainkan hidup berdampingan dalam praktik budaya dan wacana sosial," lanjutnya.

Prof. Syamzan menyoroti bahwa alih-alih mengeliminasi warisan mitologi, masyarakat Bugis justru mengembangkan strategi budaya yang bersifat sinkretik. Strategi ini digunakan untuk mempertahankan ingatan kolektif mereka.

Strategi ini dilakukan melalui proses integrasi simbol, seperti mentransformasi tokoh mitologi sentral La Galigo, Sawerigading, yang dalam beberapa versi cerita rakyat disebut-sebut telah mengenal Islam. Selain itu, tradisi adat seperti Mappacci dan Mappalili yang secara struktural berasal dari La Galigo, tetap dilaksanakan dengan unsur-unsur Islam.

Pelaksanaan adat ini diintegrasikan melalui pembacaan doa-doa dan ayat-ayat Al-Qur'an, menunjukkan adanya daya lentur budaya lokal dalam merespons ideologi baru. Kajian ini menyimpulkan bahwa identitas Bugis-Islam terbentuk melalui dialektika antara nilai-nilai ke-Islam-an dan nilai-nilai ke-Bugis-an, menjadikannya warisan yang kaya dan kompleks.

Penulis: Fathiyah - Mahasiswa Magang KPI

Previous Post UIN Alauddin Jaring Duta Kampus 2025: Lulusan Tak Hanya Akademis, Tapi Berperadaban dan Siap Jadi Pe
Next Post Sambutan Dekan FDK UINAM: Perjuangan Mandiri Jadi Kunci Sukses dan Pintu Kolaborasi