Gambar HIMAJIP FAH UIN Alauddin Gelar Seminar Nasional Bahas Perpustakaan Melawan Intoleransi

HIMAJIP FAH UIN Alauddin Gelar Seminar Nasional Bahas Perpustakaan Melawan Intoleransi

UIN Alauddin Online - Himpunan Mahasiswa Jurusan Ilmu Perpustakaan (HIMAJIP) Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Alauddin Makassar menggelar Seminar Nasional bertajuk Perpustakaan Melawan Intoleransi.

Kegiatan yang merupakan rangkaian Sesamata Fest II ini dilaksanakan secara blendid learning melalui aplikasi Zoom Meeting dan offline yang dipusatkan di Lecture Teater Gedung FAH, Senin (27/09/2021) lalu.

Hadir dalam kegiatan itu, beberapa tokoh penting yang berkecimpung dalam bidang perpustakaan sebagai narasumber diantaranya Kepala Perpustakaan Nasional Republik Indonesia Muhammad Syarif Bando.

Kemudian Pustakawan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Agus Rifai, Dosen Ilmu Perpustakaan Universitas Indonesia Dr Laksmi, Peneliti dan Dosen Ilmu Perpustakaan Royal Melbourne Institute of Tecnology Putu Laxma Pendit.

Pada kesempatan itu, Kepala Perpustakaan Nasional RI Muhammad Syarif Bando membahas mengenai dampak perkembangan perpustakaan nasional serta dunia dari literasi, dan intoleransi. 

"Perpustakaan melawan intoleransi dapat dimaknai dari sebuah institusinya terlebih dahulu. Ketika merujuk pada Perpustakaan Nasional, simbolnya ialah peradaban yang melambangkan kemajuan suatu bangsa," katanya.

“Disitu ada nilai-nilai plus, kita bicara tentang manusia yang beradab, kita sebagai ciptaan Tuhan. Perjalanan peradaban diiringi kebaikan dan keburukan, sehingga Tuhan menurunkan agama agar taat,” tambahnya.

Lebih lanjut, Ia memaparkan mengenai perkembangan literasi di Indonesia serta fenomena yang terjadi di dunia saat ini. 

"Literasi tidak hanya mengenai kuantitas yang dibaca, tetapi literasi adalah kemampuan mengenal huruf, mengenal kata, kalimat dan kemampuan untuk berpendapat. Sehingga dari apa telah dibaca, didapati suatu pengetahuan, dan  dikatakan literasi adalah mampu untuk meresapi dan mengolahnya menjadi pengetahuan baru," bebernya.

Selain itu, kata pria asal Sulawesi Selatan ini literasi memilik lima tingkatan yang puncaknya memiliki ilmu pengetahuan dan memiliki keterampilan yang dapat diimplementasikan untuk menciptakan barang atau jasa yang dapat digunakan dalam kompetensi global. 

"Lulusan sarjana, atau seorang berpendidikan tidak hanya soal menjadi pemenuhan lapangan pekerjaan, tetapi juga dapat membuat lapangan pekerjaan," paparnya.

Oleh karena itu, kata dia dengan kondisi Indonesia yang masih jauh berkompeten di global serta keterpaksaan hidup dengan teknologi yang sangat cepat maka individu tidak boleh bermental penumpang.

"Individu tidak boleh bermental penumpang yang tidak memiliki inisiatif tinggi. Akan tetapi jadilah bermental pengemudi yang berani mencoba, mencari wawasan, dan menemukan jalan baru," pungkasnya.

Senada dengan itu Putu Laxman Pendit, , juga membahas mengenai intoleransi dalam sudut pandang keilmuan. 

Secara singkat, Ia menegaskan Ilmu Perpustakaan dan Informasi dikatakan pantas membahas masalah intoleransi karena pada dasarnya Ilmu Perpustakaan dan Informasi tercakup dalam epistemologi ilmu sosial. 

"Dikatakan ilmu sosial, karena perpustakaan terlibat dengan masyarakat yang membutuhkan pengetahuan, dan budaya yang mana perpustakaan memberikan tradisi pengetahuan dan diturun-temurunkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya," ujarnya.

Sehingga, kata Peneliti asal Australia itu perpustakaan tidak lagi hanya mengenai soal profesi, gedung, atau sebuah buku, tetapi menginstruksikan kepada masyarakat mengenai pengetahuan dan tradisi. 

"Perpustakaan dan sikap netral ialah ketika merespons aspek sosial dan budaya, serta bersikap untuk toleran," pungkasnya.

Muh. Aswan

Previous Post Momen Bersejarah! Menag RI Akan Resmikan RS UIN Alauddin Makassar
Next Post FKIK Kukuhkan 15 Dokter Muda, Total 136 Dokter Jebolan UIN Alauddin Makassar