UIN Alauddin Online – Upaya mendorong terciptanya lingkungan pendidikan yang aman, damai, dan bebas dari kekerasan terus digalakkan oleh berbagai kalangan. Salah satunya datang dari Waode Surya Darmadali, Dosen Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar sekaligus Komite di Yayasan KITA Bhinneka Tunggal Ika, yang menjadi fasilitator dalam kegiatan bertajuk Education for Peace di SMP Negeri 1 Makassar, Sabtu, 4 Oktober 2025.
Kegiatan yang diinisiasi oleh Yayasan KITA Bhinneka Tunggal Ika bekerja sama dengan Dinas Pendidikan Kota Makassar ini diikuti oleh 100 guru SMP se-Kota Makassar. Para peserta mendapatkan pembekalan tentang pendidikan perdamaian, pencegahan kekerasan di sekolah, serta cara menciptakan ruang belajar yang menghargai keberagaman dan inklusivitas.
Sebagai co-fasilitator, Waode memandu beberapa sesi penting, mulai dari diskusi interaktif, simulasi kasus kekerasan di sekolah, hingga refleksi bersama. Melalui metode partisipatif, para guru diajak untuk mengenali berbagai bentuk kekerasan baik verbal, fisik, maupun psikologis yang sering kali terjadi tanpa disadari di lingkungan pendidikan.
Dalam paparannya, Waode menekankan bahwa guru memiliki peran strategis sebagai teladan dalam membangun budaya damai di sekolah. Ia menjelaskan bahwa pendekatan edukatif berbasis empati dan komunikasi non-kekerasan menjadi pondasi utama dalam membangun relasi sehat antara guru dan peserta didik.
“Sekolah seharusnya menjadi ruang yang aman bagi anak-anak untuk tumbuh dan berkembang. Tugas kita sebagai pendidik bukan hanya mengajar pengetahuan, tetapi juga menanamkan nilai-nilai kemanusiaan,” ujar Waode.
Lebih lanjut, ia menyampaikan bahwa fenomena kekerasan di dunia pendidikan bukan hanya soal perilaku individu, melainkan juga terkait dengan budaya, sistem, dan kebiasaan yang perlu dikaji ulang. Melalui kegiatan Education for Peace, para guru diharapkan dapat memiliki kesadaran kritis untuk menolak segala bentuk kekerasan serta mampu menjadi agen perubahan di sekolah masing-masing.
“Sering kali kekerasan terjadi bukan karena niat jahat, tetapi karena kurangnya pemahaman. Dengan pendidikan perdamaian, kita belajar untuk mendengar, memahami, dan menghargai perbedaan,” tambahnya.
Kegiatan ini juga memberikan ruang bagi peserta untuk saling berbagi pengalaman dan strategi dalam menangani permasalahan kekerasan di sekolah. Banyak peserta mengaku mendapatkan wawasan baru tentang pentingnya komunikasi empatik dan refleksi diri dalam proses belajar mengajar.
Waode berharap, program seperti Education for Peace dapat terus diperluas agar semakin banyak tenaga pendidik yang memahami pentingnya pendidikan damai. Ia juga menekankan perlunya dukungan semua pihak baik sekolah, orang tua, maupun pemerintah untuk bersama-sama membangun ekosistem pendidikan yang ramah anak dan berkeadilan.
“Kita ingin sekolah menjadi tempat yang benar-benar mendidik, bukan menakutkan. Budaya damai bukan sesuatu yang instan, tetapi bisa tumbuh kalau kita mulai dari diri sendiri dan lingkungan terdekat,” tutup Waode.
Alat AksesVisi