Gambar Sosok Drs Mahmuddin MAg

Sosok Drs Mahmuddin MAg

PERJALANAN hidup semua manusia tak ada yang sama. Semua memiliki cerita dan kisahnya masing-masing. Demikian halnya dengan perjalanan hidup Drs Mahmuddin MAg, Pembantu Dekan III Bidang Kemahasiswaan Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Alauddin Makassar, yang penuh liku.

Ternyata, apa yang diterimanya hari ini sebagai seorang pejabat di FDK UIN, tak pernah dimimpikan jauh sebelumnya. Bagaimana ia mau bermimpi menjadi pejabat, mengingat masa kecilnya yang serba dipenuhi keterbatasan. Bahkan untuk bisa mengenyam pendidikan pun, sangat sulit.

Bahkan, Mahmuddin menggambarkannya sebagai hal yang luar biasa. Bisa sekolah dari jenjang sekolah dasar hingga menyelesaikan strata satu (S1) atau sarjana.

"Dalam benak anak seorang petani penggarap, mungkin tak pernah terpikir untuk dapat mengenyam pendidikan di bangku kuliah apalagi sampai ke perguruan tinggi," ujarnya.

Dalam perjalanan hidupnya, Mahmudin muda memang tak seperti sebayanya. Kalau teman- temannya bisa menghabiskan waktu dengan bermain bersama teman-temannya, Ia justru disibukkan dengan bekerja sepeuhnya membantu orang tuanya bertani.

"Semua untuk membiayai sekolah," kata Mahmuddin yang berbagi sejarah hidupnya kepada reporter UIN Online, Jumat (18/03/2011).

Ya, anak bungsu dari Beddu Panged dan Johari ini memang menempuh jalan yang cukup panjang untuk bisa mendapat restu kuliah dari orang tuanya. Himpitan ekonomi memang nyaris sempat menggagalkannya bisa kuliah di Fakultas Dakwah, IAIN Alauddin cabang Bulukumba.

"Waktu itu, saya hanya bisa menangis sehari semalam merenungi nasib tak bisa kuliah," jelasnya mengenang perjuangannya saat itu. Saat itu, ia memang berusaha ikhlas jika memang tidak bisa kuliah, sampai akhirnya, kedua orang tuanya mengijinkan Mahmuddin muda kuliah. Dan ia pun akhirnya terdaftar sebagai mahasiswa di Fakultas Dakwah, IAIN Alauddin tahun 1981.

Nah, sejak saat mendapat izin itulah, perjuangan sebenarnya mengarungi kehidupan dijalani ayah empat anak ini. Terutama berjuang bagaimana mendapatkan biaya sumbangan pelaksanaan pendidikan (SPP). Sebab, kedua orang tuanya sudah menwanti-wanti tidak bisa membayar 100 persen SPP Mahmuddin.

"Pengalaman pertama saya membayar SPP, ketika itu saya meminta uang kepada orang tua sebesar Rp 33 ribu. Namun saya hanya diberi uang Rp 20 ribu saja. Orang tua mengaku tak punya tambahan uang lagi. Dan dari situ saya berusaha untuk mencari uang," ujarnya.

Untuk mendapatkan uang tidak mudah. Mahmuddin muda mencoba uang untuk membiayai perkuliahannya dengan menekuni pekerjaan buruh bangunan. Bahkan pekerjaan ini sempat dilakoni selama empat tahu setiap akan membayar SPP dan juga jika ingin membeli buku bahan perkuliahan.

"Saya melakoni pekerjaan sebagai buruh bangunan untuk memenuhi kebutuhan hidup saya sehari-hari. Saya bekerja ketika sore hari setelah pulang kuliah," kenang suami dari perempuan bernama Thairah ini.

Tak hanya sebagai buruh bangunan, PD III yang cukup akrap dengan mahasiswa ini juga melakukan banyak pekerjaan lain. Seperti menjalani aktivitas sebagai tukang ketik skripsi rekan- rekan sekampus dengan mesin ketik manual--saat itu belum dikenal komputer.

Namun, kehidupan pahit tak selamanya dialami ayah Nuravia Afifah el-Mahirah ini. Ketika memasuki semester akhir perkuliahan, penghidupan Mahmuddin mulai berubah sejak diangkat menjadi tenaga honorer di Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Muhammadiyah, Makassar (cikal bakal Universitas Muhammadiyah Makassar kini).

"Saya terangkat sebagai tenaga harian di STKIP dengan bekal saya mampu mengetik dan pertimbangannya saya berasal dari keluarga tidak mampu," jelasnya.

Tak lama kemudian, mantan Sekretaris Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI) UIN Alauddin ini akhirnya berhasil menyelesaikan studinya pada tahun 1988. Pada tahun yang sama juga Drs Mahmuddin MAg berhasil terangkat sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS).

"Banyak orang yang terheran-heran ketika tahu saya terangkat CPNS. Ini semua berkat jasa Drs Husain Sulaiman MAg (almarhum) dan Rektor IAIN Alauddin waktu itu, Ibu Rasdiyanah. Waktu itu, mereka mengajak saya ke Ujung Pandang (Makassar) untuk mendaftar di Kanwil Sulsel," ungkapnya.

Sayang, ketika ia tiba di Ujung Pandang ternyata pendaftaran sebagai CPNS Kanwil Depag sudah tutup. Namun langit tak selamanya gelap, itulah prinsip hidup Drs Mahmuddin MAg. Dengan ketekunan ia pun mendapati langit terang ketika diminta datang ke rumah Husain Sulaiman. Dari situ, ia mendapat petunjuk untuk mendaftar di IAIN Alauddin, Ujung Pandang.

Menurut anak bungsu dari delapan bersaudara ini," dari situlah saya mendapat arahan untuk mendaftar di IAIN Alauddin. Secara kebetulan jatah untuk Fakultas Dakwah, Bulukumba ada dibuka untuk satu orang," ungkapnya.

Setelah lulus, perjalanan karier Drs Mahmuddin MAg diawali dengan ditempatkan di bagian Perpustakaan Fakultas Dakwah, Bulukumba selama 2 tahun. Lalu ia kemudian dipindahkan ke Ujung Pandang pada tahun 1990. Ditahun inilah ia memulai secara resmi kariernya sebagai Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan ditempatkan di Sub Bagian Umum Fakultas Dakwah IAIN Alauddin.

Tak ingin berkarier sebagai staf administrasi, Mahmuddin kemudian melanjutkan kuliahnya pada tahun 1998 saat pindah sebagai tenaga fungsional atau menjadi dosen. Selama dua tahun kuliah, ia kemudian berhasil mendapat gelar master agama. Dan jabatan fungsional pertama diterimanya ketika diangkat sebagai sekretaris jurusan KPI.

Karena dahulu telah terbiasa mengetik skripsi teman-temannya di masa kuliah dulu, sampai saat ini, Mahmuddin sering menjadi editor. Bahkan juga menjadi juru layout dalam menerbitkan judul buku untuk kenaikan pangkat para dosen.

"Ada sekitar 50 buku yang sudah saya terbitkan. Setiap ada teman yang ingin mengurus kenaikan pangkatnya, saya selalu membantunya. Dan dari mengetik banyak buku tersebut, justru kemudian mempermudahkan saya dalam naik pangkat," ujarnya

Jabatan berikutnya pada tahun 2008 diangkat menjadi sebagai pembantu dekan II setelah sempat menjadi ketua jurusan jurnalistik selama tiga tahun.

"Kalau mengenang masa lalu, saya sama sekali tidak pernah berpikir untuk jadi seorang PD III seperti ini. Tapi saya menjalani semua yang saya alami dengan keikhlasan saya dalam melaksanakan pekerjaan," pungkas pria kelahiran 17 Desember ini menutup ceritanya. (Laporan Eka Novi Fitianty B)
Previous Post Raudhatul Athfal Alauddin Gelar Ramah Tamah dan Tasyakuran Akhir Tahun Ajaran 2024/2025
Next Post Kaprodi Magister Akuntansi Syariah UIN Alauddin Bahas Industri Halal di Unismuh Makassar