Gambar Kisah

Kisah

SOSOK yang dikenal bersahaja dan ramah ini, ternyata menyimpan cerita yang mampu menginspirasi. Perjalanan hidup anak kedua dari empat bersaudara ini, diwarnai dengan lika-liku kehidupan khas anak pesisir perkotaan.

Siapakah dia? Ia adalah Agus mahasiswa berumur 21 tahun yang menempuh pendidikan di Jurusan Peradilan Agama Fakultas Syariah (FSH) Semester VII Universitas Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, Rabu (04/01/2012).

Lahir dan dibesarkan di Ujungpandang (sekarang kota Makassar) dari orang tua yang berprofesi sebagai pedagang kecil dipinggiran pasar Sentral Makassar, menjadikan Agus kecil terbiasa dengan kehidupan yang cukup keras dan penuh dengan  keterbatasan.
 
Hal ini terlihat kala Agus kecil yang gemar bermain sepak bola hanya memiliki seorang teman yang menjadi sahabat kecilnya. Sobat kecil itu adalah Sahrul. Nama yang melekat kuat dalam memorinya.

Ia merupakan sosok sahabat yang sangat setia yang menemani Agus melewati masa kecilnya. Walaupun pada usia 8 tahun Agus kecil telah dibawa ibunya ke kampung halamannya di Segeri, Pangkep untuk diasuh oleh neneknya.

Menjelang usianya 9 tahun, Agus kecil ditinggal pergi ayah yang berpulang ke Rahmatullah karena secara tiba-tiba terserang stroke dan kelumpuhan. Sejak saat itu, ia kehilangan sosok ayah yang begitu menyayanginya dan harus kembali kepangkuan ibunya di Makassar.

Suasana kota yang tak ramah ditambah ia harus belajar hidup tanpa seorang ayah mendorong Agus kecil berusaha untuk membantu kehidupan keluarganya. Dan berangkat dari kondisi yang serba terbatas itu, membuatnya bermimpi menjadi orang yang sukses serta dapat menopang kehidupan keluarganya.

Akan tetapi, pada usia 11 tahun Agus kecil harus rela ditinggalkan sobat ciliknya Sahrul yang mengikuti orang tuanya merantau di kota Ambon, Maluku. Lagi-lagi ia harus menahan kesedihan ditinggalkan orang begitu dekat dengannya.

Setelah menamatkan pendidikan di sekolah Menengah Pertama (SMP), Agus hampir tidak dapat melanjutkan pendidikan ke jenjang SLTA karena tidak memiliki biaya. Akan tetapi, kakaknya yang terlebih dahulu putus sekolah karena alasan biaya, menginginkannya dapat melanjutkan pendidikan.

Walaupun sang kakak harus bekerja keras untuk mencari biaya pendidikannya akhirnya, Agus menamatkan pendidikan di Madrasah Aliyah DDI Galesong Baru.

Kendala Biaya

Kendala yang sama sempat menghalanginya impian Agus melanjutkan pendidikan di bangku Perguruan Tinggi. Tidak ada biaya selalu menjadi momok yang menakutkan bagi keluarga ekonomi rendah seperti mereka.

Buktinya di dalam keluarganya tidak ada yang mampu melanjutkan pendidikan baik di tingkat menengah atas (SLTA) apalagi berharap dapat kuliah di perguruan tinggi. Namun, tekad dan semangat anak pedagang ini ternyata sudah bulat ingin mewujudkan impiannya tersebut. "Cukup berikan saya uang untuk mendaftar kuliah dan registrasi pertama," katanya tegas.

Bermula dari tekadnya tersebut, ibu dan kakaknya pun tergerak untuk mencarikannya biaya. Hasilnya uang sebesar Rp 1 juta dikantonginya untuk mendaftar masuk di UIN.  Sebuah pencapaian yang tidak murah dari anak pedagang kecil yang dibesarkan oleh orang tua tunggal.

Setelah menjalani satu semester berjalan, sosok pekerja keras ini kemudian terpilih menjadi ketua tingkat, selain itu ia memperdalam bakat menulisnya dengan mengikuti program penerimaan anggota baru UKM LIMA Wasilah di tahun pertamanya kuliah.

Jadi Tukang Batu

Sayangnya kehidupan tidak begitu mulus, mahasiswa yang dikenal aktif di kelas dan organisasi, harus bekerja menjadi tukang batu pada saat liburan semester untuk membayar uang SPP. Karena prestasi terus menanjak ia kemudian mendapat beasiswa prestasi.

Mulai saat itu dia mulai membangun kepercayaan diri  kemudian mengikuti berbagai organisasi baik ekstra maupun intra. Maka tak heran ia kemudian terpilih menjadi ketua UKM LIMA Wasilah periode 2011-2012. Namun Agus tetaplah Agus putra daerah yang selalu belajar dan terus berproses. Kerasnya kehidupan kota menjadi saksi bisu hari-harinya.

"Bersyukurlah bagi kalian yang masih punya kedua orang tua. Jangan sia-siakan modal yang kalian dapat. Karena tidak selamanya apa yang kalian alami itu juga sama dialami oleh mahasiswa lain," ujarnya.

"Tapi, lebih bersyukurlah jika kalian masih berstatus mahasiswa dan masih bisa makan tiga kali sehari dalam seminggu. Terkadang saya makan hanya sekali dalam dua hari. Saya tak mau mengeluh. Cukup saya yang membaca tentang hidup saya sendiri. Saya menyukuri apa yang ada pada diri saya. Di luar sana masih banyak yang lebih menderita dari kita," pungkasnya diakhiri senyuman. (UIN Online l Suryani Musi)

Previous Post Tim LDRH UIN Alauddin Juara 2 Kompetisi Essay Hukum Tingkat Nasional
Next Post Mahasiswa Keperawatan UIN Alauddin Makassar Raih Juara Kategori Video Ter-estetik