Gambar Ketua KPK RI Bicara Peran Intelejen

Ketua KPK RI Bicara Peran Intelejen

UIN Online - Kasus-kasus penangananan terorisme, dan kasus korupsi hampir memiliki persamaan mulai dari Orde Baru sampai sekarang. Dalam bidang korupsi saja mekipun telah memiliki sejumlah alat bukti tetapi tidak juga mampu menunjukkan penagananan secara transparansi.

Isu peran Intelejen ini menjadi bahan perbincangan yang menarik pada seminar Nasional dalam rangka Dies Natalis Universiats Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar di gedung Auditorium kampus II Samata Gowa, Sabtu 12 November 2011.

Dialog yang digelar bersama dengan Ketua Komisis Pemberantasan Korupsi (KPK), Dr M Busyro Muqoddas SH M Hum dengan tema Dinamika Peran Intelejen dalam Pusaran Global banyak membahas sepak terjang intelejen mulai dari masa Orde Baru sampai sekarang.

Busyro dipanel dengan Direktur Pusat Studi Hak Asasi Manusia (HAM) Universiats Islam Indonesia Yokyakarta, Eko Prasetyo. Seminar ini dipandu oleh Prof Dr Darussalam Syamsuddin MA. Sebelum dialog tersebut dimulai, Rektor UIN, Prof Dr Qadir Gassing memberikan  beberapa pengantar.

Menurutnya, Seminar Nasional ini dengan tema sentral Mewujudkan Kampus Peradaban Melalui Pencerdasan, Pencerahan, dan Prestasi agar seminar ini mampu memberika pencerahan kepada sejumlah peserta yang beragam.

Mulai dari anggota Asosiasi Professor Sulsel, Ketua Pengadilan Tinggi Negara, beberapa Rektor perguruan Tinggi, tokoh agama, guru besar, dan mahasiswa S1, S2, dan S3.

"Indonesia sekarang ini telah begitu banyak memiliki orang pintar namun tidak tercerahkan. Siapa tahu ini bisa memberi sumbangsi pada perkembanagan bangsa dan tanah air," kata Prof Qadir.

Sumber Ilmu
Busyro menyatakan bahwa pencerahan merupakan misi dari komunitas keilmuan. Sumber ilmu adalah penemuan secara empiris yang ditemukan di masyarakat lewat riset dan ketika diberi makna maka akan menjadi sumber pengetahuan. Ilmu tidak mungkin stagnan karena banyaknya gejala di masyarakat yang bisa dibaca.

Salah satu gejala tersebut yang timbul dalam masyarakat adalah kinerja intelejen. Kinerja intelejen ini terkait dengan masyarakat hukum. Busyro menyatakan bahwa perpolitikan di Indonesia semakin tidak memiliki wajah.

"Politik kita sekarang tidak punya wajah lagi. Sudah tidak memiliki ideologi yang jelas. Kecuali pemahaman yang paling mendasar, yakni pragmatis dan hedonis. Hanya mengejar kenikmatan sesaat dan kepentinagn semu. Cuma harta," katanya.

Dr Busyro menjelaskan panjang lebar setiap peristiwa di masa Orde Baru didalangi oleh intelejen dengan mengatasnamakan organisasi Islam yang menginginkan negara Islam. Aparat hanya menilai secara tunggal bahwa para teroris tersebut memiliki kaitan dengan jaringan yang berbau Islam yang berjejaring.

Pernyataan Busyro itu berdasar pada kapasitasnya sebagai akademisi bukan sebagai ketua KPK. Melalui penelitian yang panjang dan dituangkan dalam bentuk disertasi yang dibukukan dengan judul Hegemoni Rezim Intelejen yang diterbitkan setebal halamanan 472.

Riset tersebut dilakukannya sampi ke pelosok-pelosok dan memiliki bukti rekaman dari orang yang pernah menjadi tersangka.  Dia berusaha membuktikan bagaimana intel tersebut memangsa anak buah sendiri dengan bersembunyi di balik nama kelompok Islam.

Dosen di Fakultas Hukum UII Jogja ini menyatakan bahwa hal tersebut bisa saja terjadi di Indonesia karena sistem kekuasaan otoriter penguasa dan kekuasaan yang berpangkal pada Soeharto.

Dia menggambarkan bagaimana polisi dikerjai oleh intelejen, jaksa dan hakim juga dikerjai yang memakan korban ke Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama.
 
Narasumber lain di seminar itu adalah Eko Prasetyo. Bagi Eko Prasetyo yang juga bergerak dalam tim pembela Muslim menambahkan bagaiamana menderitanya keluarga korban yang dituduh sebagai terorisme. Mulai dari mendapat tekanan dari media, tekanan masyarakat, dan tekanan mental. Sebagai bagian dari Tim Pembela Muslim dia akan mendampingi para keluarga korban yang bermasalah tersebut.

Ketika salah satu peserta menanyakan kapan korupsi dan teroris akan berakhir, Busyro menyatakan bahwa dirinya bukan peramal. Kan tetapi hal tersebut akan berakhir jika semua orang yang memiliki jabatan menanggalkan jabatannya kemudian menjadi penganggur. (*)

Previous Post Mahasiswa UIN Alauddin Raih Prestasi Gemilang di National Business Plan Competition 2025.
Next Post Melalui Webinar Nasional, PIAUD UIN Alauddin dan APPI Bahas Strategi Mengatasi Popcorn Brain