Gambar WASILAH ANTARA YANG MEMBOLEHKAN DAN YANG MELARANG


یَـٰۤأَیُّهَا ٱلَّذِینَ ءَامَنُوا۟ ٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَٱبۡتَغُوۤا۟ إِلَیۡهِ ٱلۡوَسِیلَةَ وَجَـٰهِدُوا۟ فِی سَبِیلِهِۦ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ 

Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan carilah wasilah (jalan) untuk mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah (berjuanglah) di jalan-Nya, agar kamu beruntung. [Surat Al-Ma'idah: 35]p

Kata (وسيلة) wasîlah mirip maknanya dengan (وصيلة) washîlah, yakni sesuatu yang menyambung sesuatu dengan yang lain. Wasilah adalah sesuatu yang menyambung dan mendekatkan sesuatu dengan yang lain atas dasar keinginan yang kuat untuk mendekat. Tentu saja banyak cara yang dapat digunakan untuk mendekatkan diri kepada ridha Allah. Namun, kesemuanya haruslah yang dibenarkan oleh-Nya. Ini bermula dari rasa kebutuhan kepada-Nya. Demikian Ibn Abbâs menafsirkan. 

Memang, jika seseorang merasakan kebutuhan kepada sesuatu, dia akan menempuh segala cara untuk meraih ridhanya serta menyenangkannya. Demikian juga dengan Allah SWT.  

Dalam sebuah hadits Qudsi yang diriwayatkan oleh Imam Bukhâri, Nabi SAW. bersabda: "Sesungguhnya Allah Yang Mahamulia lagi Mahaagung berfirman: 'Barang siapa yang memusuhi wali-Ku (orang yang dekat kepadaKu) maka sesungguhnya Aku telah nyatakan perang baginya. Tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku senangi daripada melaksanakan apa yang Aku fardhukan atasnya. Dan tidak pula hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri dengan melakukan amalan-amalan sunnah sehingga Aku mencintainya. Bila Aku mencintainya, menjadilah Aku telinganya yang dia gunakan untuk mendengar, matanya yang dia gunakan untuk melihat, tangannya yang dengannya dia menghajar, dan kakinya yang dengannya dia berjalan. Apabila dia bermohon kepada-Ku maka pasti Ku-kabulkan permohonannya, apabila dia meminta perlindungan-Ku maka pasti dia Ku-lindungi"

Ayat di atas dijadikan oleh sementara ulama sebagai dalil yang membenarkan apa yang diistilahkan dengan tawassul -yakni mendekatkan diri kepada Allah dengan menyebut nama Nabi SAW. dan para wali (orang-orang yang dekat kepada-Nya), yakni berdoa kepada Allah guna meraih harapan demi Nabi dan atau para wali yang dicintai Allah SWT. Sementara orang, tulis asy-Sya'rawi, mengafirkan orang-orang yang bertawassul. Tentu saja, bila dia percaya bahwa wali memberinya apa yang tidak diizinkan Allah atau apa yang tidak wajar diperolehnya, hal ini terlarang. Tetapi, jika dia bermohon kepada Allah dengan didasari kecintaannya kepada siapa yang dia yakini lebih dekat kepada Allah daripada dirinya, ketika itu cintanyalah yang berperanan bermohon dan, dalam saat yang sama, dia yakin tidak akan memeroleh dari Allah sesuatu yang tidak wajar diperolehnya. 

Setelah menjelaskan hal di atas, Mutawalli asy-Sya'râwi, ulama Mesir kontemporer kenamaan itu, mengemukakan sebuah hadits yang juga sering kali dijadikan oleh para ulama sebagai alasan pembenaran wasîlah/tawassul. Hadits ini diriwayatkan oleh Imam Muslim, Abû Dâûd at-Tirmidzi, dan an-Nasa'i bahwa 'Umar Ibn al-Khaththâb berkata: "Pada masa Nabi saw., jika kami kekeringan karena hujan tak turun, kami ber-tawassul dengan (menyebut nama) Nabi kiranya hujan turun. Setelah Nabi wafat, kami bertawassul dengan menyebut nama al-'Abbâs paman Nabi SAW."

Imam al-Alusi termasuk ulama yang memperbolehkan tawassul. Setelah menjelaskan panjang lebar tentang wasîlah dan tawassul, ulama ini berkesimpulan bahwa tidak mengapa berdoa kepada Allah dengan menyebut dan ber-tawassul atas nama Nabi saw., baik ketika beliau hidup maupun setelah wafat, dalam arti, yang bersangkutan berdoa kepada Allah demi kecintaan-Nya kepada Nabi Muhammad, kiranya Yang Maha Esa itu mengabulkan permohonan si pemohon.

Demikian lebih kurang pernyataan al-Alûsi yang dikutip dan disetujui oleh mantan Mufti Mesir yang kini menjabat sebagai Syaikh (Pemimpin Tertinggi) al-Azhar, Muhammad Sayyid Thanthawi.

Hemat penulis, ulama-ulama yang melarang bertawassul baik dengan nama Nabi SAW. lebih-lebih dengan para wali (orang-orang yang dekat kepada) Allah, karena dikhawatirkan hal tersebut tidak dipahami oleh masyarakat awam yang sering kali atau boleh jadi menduga bahwa mereka itulah-baik yang telah wafat atau masih hidup yang mengabulkan permohonan mereka atau bahwa mereka mempunyai peranan yang mengurangi peranan Allah dalam pengabulan permohonan mereka atau bahwa mereka dapat memeroleh sesuatu yang tidak wajar mereka Bu. Keyakinan semacam ini jelas terlarang bahkan salah satu bentuk mempersekutukan Allah SWT.