Barsihannor (Dosen Pemikiran dan Filsafat Islam UIN Alauddin Makassar)
Kamaren sore, Kamis 23 Januari 2025, Kapolretabes Kota Makassar bersilaturrahim dengan jajaran pimpinan UIN Alauddin Makassar. Hadir rektor, para wakil rektor, para dekan dan unsur dari kepolisian. Di antara hal menarik yang disampaikan oleh Kapolrestabes Bapak Arya adalah perkembangan dunia digital yang memudahkan setiap orang untuk mengakses apapun di dunia maya. Judi online, pornografi, dan lain-lain Ini membuat orang bisa ketagihan (addicted) yang bisa merusak mental.
Saya teringat ketika perjalanan pulang dari Jakarta ke Makassar pukul 23.00. Di depan saya ada anak kecil yang sedang main game menggunakan akses internet hp. Saat pesawat mau take off, pramugari meminta kepada orang tuanya untuk mematikan hp anaknya. Apa yang terjadi? Anaknya menangis agar hpnya dihidupkan kembali. Pesawat take off dan mengudara. Lampu dimatikan meski perjalana pesawat sudah normal karena kondisinya perjalanan malam. Penumpang mau istirahat atau tidur. Akan tetapi anak yang mainannya dimatikan itu tidak berhenti mengangis. Duduknya persis 3 baris di depan saya. Sepanjang kurang lebih 2 jam 20 menit dia menangis hingga landing, karena hpnya dibuka kembali. Saya berpikir, anak ini sudah kecanduan yang sangat dalam dengan game online, dan ini membahayakan mentalnya kelak jika tidak diterapi.
Dalam bukunya Digital Minimalism, Cal Newport (2024) menyoroti bagaimana era digital membawa perubahan drastis dalam kehidupan manusia, menciptakan kebiasaan yang mengikis makna hidup. "Kita semakin sibuk dengan hal-hal yang mendistraksi, sementara hal-hal penting justru terlupakan," tulisnya. Pernyataan ini menggambarkan fenomena modern: kemajuan teknologi yang semula diharapkan memperbaiki kualitas hidup, malah menciptakan krisis spiritual yang membahayakan fondasi kemanusiaan.
Di tengah kemajuan teknologi, akses ke informasi melimpah dan konektivitas tanpa batas menjadi keunggulan utama. Namun, paradoksnya, kehadiran era digital justru memisahkan manusia dari nilai-nilai spiritual yang seharusnya menjadi pijakan hidup. Aplikasi media sosial, game daring, dan konten digital lainnya menciptakan distraksi terus-menerus, menyita perhatian dan mengaburkan esensi makna hidup. Sebuah penelitian dari University of Pennsylvania menunjukkan bahwa penggunaan media sosial secara berlebihan dikaitkan dengan peningkatan rasa kesepian dan depresi. Ini menjadi salah satu indikasi bahwa dunia digital telah menggantikan hubungan yang bermakna dengan relasi semu yang superfisial.
Krisis spiritual di era digital tidak hanya berdampak pada individu, tetapi juga pada struktur sosial masyarakat. Sebagai makhluk sosial, manusia membutuhkan hubungan yang otentik, interaksi langsung, dan rasa keterhubungan. Namun, teknologi menggeser fokus manusia pada hal-hal yang dangkal: jumlah "like", pengakuan di dunia maya, dan kesuksesan yang diukur berdasarkan standar virtual. Ketika hal-hal ini menjadi prioritas, nilai-nilai spiritual seperti kesederhanaan, rasa syukur, dan kontemplasi menjadi terpinggirkan.
Para filsuf modern sering menyebut era ini sebagai zaman "kekosongan spiritual". Jacques Ellul, seorang sosiolog dan filsuf Prancis, Juga Sayyed Hosen Nasr mengingatkan bahwa teknologi yang berkembang pesat cenderung memperbudak manusia, bukan membebaskannya. Ketergantungan pada teknologi menciptakan ilusi kontrol atas kehidupan, tetapi pada kenyataannya, justru mengurangi kemampuan manusia untuk merenung, mencari makna, dan menjalani hidup yang autentik.
Krisis spiritual yang dihadapi di era digital tidak hanya memengaruhi kesehatan mental individu, tetapi juga mengancam peradaban secara lebih luas. Ketika manusia kehilangan makna hidup, muncul kecenderungan untuk mencari pelarian melalui konsumsi berlebihan, adiksi, dan destruksi. Hal ini berdampak langsung pada keharmonisan sosial, memperbesar kesenjangan, dan mempercepat degradasi lingkungan.
Pada tingkat global, hilangnya spiritualitas mengikis rasa tanggung jawab kolektif terhadap kemanusiaan. Kita melihat bagaimana perkembangan teknologi sering kali tidak diimbangi dengan pertimbangan etika dan moral. Algoritma media sosial, misalnya, dirancang untuk meningkatkan keterlibatan pengguna tanpa memikirkan dampak emosional dan spiritualnya. Akibatnya, banyak orang terjebak dalam siklus konten negatif, hoaks, dan konflik sosial yang merusak.
Krisis spiritual ini juga berdampak pada generasi muda, yang tumbuh di era digital dengan identitas yang dibentuk oleh dunia maya. Ketergantungan pada validasi sosial melalui media digital menciptakan generasi yang rentan terhadap kecemasan, rendah diri, dan kehilangan jati diri.
Krisis spiritual di era digital mengajarkan kita bahwa kemajuan teknologi tidak selalu berarti kemajuan kemanusiaan. Sebaliknya, manusia harus bijaksana dalam menggunakan teknologi agar tidak kehilangan jati diri dan makna hidup.
Sungguminasa 23 Januari 2025