Gambar VERLOSKAMER


Hari Minggu di akhir Juni tahun 1981. Hari itu mungkin biasa saja bagi kebanyakan orang, tapi tidak bagi seorang ibu muda berusia 28 tahun yang sedang terbaring di ruang bersalin RS Catherine Booth, Ujung Pandang. Hari itu, ia akan melahirkan anak keduanya.


Dan akulah bayi itu.


Seorang bidan berdarah Belanda memeriksa ibuku dengan tenang. "Oh... pembukaan sudah lengkap, Bu," ucapnya lembut dengan logat khas Belanda. Dengan sigap, ia mendorong tempat tidur menuju VK—Verloskamer dalam bahasa Belanda yang berarti Kamar Bersalin. 


Posisiku dalam kandungan saat itu tidak ideal. Aku berada dalam posisi sungsang dengan presentasi kaki—suatu kondisi yang memerlukan keterampilan khusus dalam persalinan. Tapi sang bidan tetap tenang. Dengan ketepatan dan keyakinan, ia melakukan ekstraksi kaki. Menarik kakiku yang mulai menyelinap di jalan lahir ibuku. Dan dengan izin Allah, aku lahir ke dunia—selamat dan sehat—di tangan seorang bidan yang datang dari negeri jauh.


Bertahun-tahun kemudian, aku menapaki jalan yang tak jauh dari titik awal kehidupanku. Sebagai dokter spesialis obstetri dan ginekologi, yang juga mengajar ilmu kebidanan bagi mahasiswa kedokteran dan kebidanan, aku sering merenung:


Mengapa begitu banyak bidan Belanda dulu berkiprah di Indonesia? Dari mana semua ini bermula?


Pertanyaan itu membawaku menyusuri jejak panjang sejarah pendidikan kesehatan di negeri ini. Dan rupanya, semuanya bermula dari satu hal: keprihatinan akan tingginya angka kematian akibat wabah penyakit serta keterbatasan tenaga medis di Hindia Belanda.


Awal Mula Pendidikan Kedokteran Modern


Tahun 1851 menjadi tonggak bersejarah bagi dunia kesehatan Indonesia. Saat itu, pemerintah kolonial mendirikan Sekolah Dokter Djawa di Batavia—cikal bakal Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Latar belakang pendiriannya adalah kekhawatiran Gubernur Jenderal Duymaer van Twist menghadapi wabah cacar yang melanda pantai utara Jawa dan Karesidenan Banyumas.


Sekolah ini melatih pemuda pribumi menjadi tenaga medis. Mereka diberi gelar "Dokter Djawa"—meski belum setara dengan dokter Eropa, para lulusan ini memegang peranan penting dalam layanan kesehatan masyarakat. Pada 1902, sekolah ini berkembang dan berganti nama menjadi STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen) atau Sekolah Pendidikan Dokter Bumiputera.


Nama yang paling dikenang dari alumni STOVIA adalah dr. Wahidin Soedirohoesodo—dokter yang kemudian menjadi tokoh pergerakan nasional dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi. STOVIA tidak hanya melahirkan dokter, tetapi juga para pemimpin bangsa yang memahami pentingnya kesehatan dan pendidikan.


Lahirnya Pendidikan Kebidanan Modern


Namun dunia kesehatan tidak bisa bertumpu hanya pada dokter. Persalinan adalah momen penuh risiko, bagi ibu dan bayi. Maka di tahun yang sama—1851—seorang dokter militer Belanda, Dr. W. Bosch, membuka pendidikan bidan pertama bagi wanita pribumi di Batavia. 


Program pelatihan bidan dimulai pada Oktober 1851. Kurikulum sekolah ini terdiri dari mata pelajaran yang terkait dengan profesi bidan: anatomi, prinsip-prinsip fisiologi manusia, berbagai dimensi panggul wanita, dan teknik persalinan modern. Mereka diajarkan menolong persalinan secara bersih, aman, dan ilmiah—sesuatu yang saat itu masih asing di tengah masyarakat yang terbiasa dengan dukun bayi tradisional.


Sayangnya, program ini tidak berlangsung lama karena kurangnya minat dan berbagai kendala. Namun benih yang ditanam Dr. Bosch ini akan tumbuh kembali di masa-masa selanjutnya, menjadi fondasi bagi perkembangan kebidanan modern di Indonesia.


Perjalanan para bidan ini tidak mudah. Mereka menghadapi tantangan budaya yang luar biasa, keterbatasan fasilitas, hingga keraguan masyarakat yang masih mempercayai cara-cara tradisional. Dalam masyarakat yang patriarkis, kehadiran bidan perempuan yang terlatih formal sering kali dipandang dengan skeptis.


Tapi dengan kesabaran dan pendekatan penuh kasih, mereka perlahan diterima. Ketika hasil kerja mereka terbukti—angka kematian ibu dan bayi yang lebih rendah, proses persalinan yang lebih aman—lambat laun masyarakat mulai percaya. Para bidan menjadi harapan baru dalam menurunkan angka kematian ibu dan bayi.


Warisan yang Berkelanjutan


Kisah ini terus bergulir hingga Indonesia merdeka. Pemerintah mengambil alih sistem pendidikan kesehatan dan mulai mendirikan sekolah bidan serta fakultas kedokteran di berbagai daerah. Namun jejak masa lalu masih membekas kuat. Banyak istilah Belanda yang masih kita gunakan hingga kini—Verloskamer untuk ruang bersalin, partus untuk persalinan, bahkan "bidan" yang berasal dari kata vroedvrouw, yang berarti "perempuan bijak".


Kini, bidan dan dokter Indonesia hadir dari berbagai penjuru nusantara. Berbekal ilmu dan kasih sayang, mereka mengemban amanah mulia: menjaga kehidupan, merawat harapan, dan menjadi perantara takdir Allah dalam menghadirkan nyawa baru ke dunia.


Bagi saya pribadi, ini bukan sekadar cerita sejarah. Ini adalah kisah takdir yang menuntun langkah saya hingga hari ini. Saya—yang dulu lahir di tangan seorang bidan Belanda—kini berdiri di ruang bersalin yang sama, menjalani peran yang sama: menyambut kehidupan, dengan ilmu, cinta, dan keyakinan bahwa semua ini atas izin-Nya.


Sesungguhnya, setiap kelahiran adalah peristiwa suci. Di sanalah manusia hadir untuk pertama kali dalam dunia fana; dengan linangan doa, kerja keras, dan tangan-tangan yang dituntun oleh rahmat Allah.


Hari ini, saya kembali ke tempat di mana semuanya bermula. Bukan lagi sebagai bayi yang ditolong, tetapi sebagai seorang hamba yang diberi kesempatan untuk menolong.


Sebuah lingkaran hidup yang Allah lengkapi dengan penuh hikmah.

Siklus kehidupan.