Dalam masyarakat kita, ritus-ritus Ramadan lebih banyak dijalani secara sosial-komunal daripada personal-individual. Spirit Ramadan lebih identik dengan spirit “Ga ada lho ga rame!” Dalam keramaian, yang lebih menonjol adalah unsur performatif, eksebisi, seremoni, transaksi, kumpul-kumpul, makan-makan, main-main. Juga kuantitas dan kecepatan atau keterburu-buruan.
Tentu saja, masih ada orang-orang yang tetap berupaya mencari makna dan hikmah Ramadan secara soliter dan khusyuk. Misalnya, lebih memilih (atau menambah dengan) salat tahajud di rumah pada sepertiga akhir malam daripada (hanya) salat tarawih ramai-ramai di masjid pada awal malam.
Ringkasnya, niat dan pilihan cara menjalani setiap ritus Ramadan menentukan pengaruh akhirnya terhadap pribadi setiap orang. Nabi saw bersabda, “Amal itu tergantung pada niatnya, dan seseorang hanya mendapatkan sesuai yang diniatkan”. Karena itu, mereka yang niatnya sekedar mengakumulasi secara kuantitatif dan matematis pahala ibadah (tarawih, tadarus, dan sebagainya), tentu kelak akan menemukan tabungan pahala di akun bank akhiratnya membludak setelah Ramadan. Walaupun, selepas itu, hidup mereka akan back to business as usual. Kembali lagi ke situasi dan kondisi hidup seperti sebelum Ramadan. Dengan kata lain, sifat dan prilaku seseorang tidak mengalami perubahan yang berarti.
Orang yang membayangkan bisa menikmati berbagai jenis makanan lezat, misalnya, tentu akan cermat memantau undangan buka puasa bersama di masjid megah, di rumah mewah para pengusaha dan penguasa, atau di tempat-tempat pembagian makanan gratis selama buka puasa dan sahur. Menjelang perhelatan politik di tahun 2019 di Indonesia, undangan berbuka puasa bersama dari para paslon kontestasi pilkada serentak datang susul-menyusul.
Bagi remaja, Ramadan bisa menjadi alasan ngeluyur atar ngelayap ke luar rumah di malam hari. Walau, tetap memakai peci atau mukena. Dengan niat begitu, yang akan didapatkan hanya kesenangan dalam begadang atau keasyikan bertemu teman sebaya. Di akhir Ramadan, yang tersisa hanyalah kesan indah dan romantis menghabiskan malam dan subuh hari bersama teman sebaya atau bakan kekasih.
Yang menyukai hiburan berbingkai agama lewat mimbar dakwah, tentu akan tekun mengikuti jadwal ceramah Ramadan para dai pavorit mereka. Ramadan bagi mereka adalah momentum menikmati lebih banyak performa dai kondang dan jenaka lewat berbagai media. Dari waktu ke waktu, muncul dai jenaka baru yang lebih menyerupai stand up comedian. Sangat menghibur memang. Tapi tidak pernah jelas sejauh mana efek transformatif dari setiap ceramah mereka. Baik yang disampaikannya lewat mimbar-mimbar aktual maupun berbagai platform media digital.
Jangan lupa juga, sebagian orang menjalani ritual puasa sebagai bentuk diet bagi tubuhnya yang dirasa semakin tambung. Makanya, di akhir Ramadan dia mungkin akan terlihat semakin ramping, proporsional dan bahkan seksi. Tapi, efek puasa secara moral dan spiritual mungkin tidak begitu nampak.
Sementara itu, bagi mereka yang menjadikan Ramadan sebagai momen pertobatan dan penyucian jiwa, tentu akan mendapati bulan ini terlalu singkat buat menabuh genderang perang besar melawan hawa nafsu yang selama ini mengendalikan dirinya. Bagi-bagi orang-orang seperti inilah, kerinduan bersua Ramadan tahun berikutnya terasa taktepermanaikan.
Dan tentu saja, masih ada orang-orang yang tetap benar-benar berniat meraih kemuliaan Ramadan lewat ibadah individual dan pelayanan komunal secara ikhlas. Mereka juga berharap mendapat pencerahan di satu malam yang lebih baik daripada seribu bulan. Malam spesial yang tak mungkin dijumpai secara untung-untungan atau kebetulan. Sebab, hanya jiwa-jiwa yang ikhlas menempa diri dalam hidup asketik jauh sebelum Ramadan tiba yang akan meraih momentum penyingkapan dan pencerahan spiritual itu.
Ala kulli hal, takada cara santai, instan dan ala kadarnya dalam meraih kemuliaan Ramadan. Niat dan cara seorang menjalani dan menghidupi, atau menggumuli Ramadan akan menentukan efek akhir bulan suci ini bagi hidupnya. Kata Nabi saw, “Setiap orang mendapatkan apa yang diniatkan.” Apa niat Anda ber-Ramadan tabun ini? []
----------- [Sumber, Wahyuddin Halim, Taat Ritual Tuna Sosial: Etnografi Reflektif atas Tradisi Ramadan Kaum Muslim Indonesia (Makassar: Carabaca, 2021), Bagian I, #5, h. 28-30].