Dalam kitab Al-Wabil al-Shayyib karya Ibn al-Qayyim, beliau secara khusus membedakan antara dzikir dan doa. Meski secara umum doa masuk juga ke dalam dzikir. Pembedaan ini bukan tanpa dasar. Ada hadis Nabi saw yang menyatakan bahwa Allah akan menganugerahi orang-orang yang berdzikir kepada-Nya sebaik-baik apa yang diminta oleh para pendoa.
Menurut beliau, dzikir lebih tinggi kedudukannya dari sekedar doa. Karena dzikir itu dilakukan hanya untuk pujian, pengagungan, tasbih kepada Allah SWT semata, sementara doa dilakukan lebih karena (masih ada) kepentingan kita kepada-Nya. Jadi ada unsur nafsu di sini yang berperan ingin dipuaskan.
Meski bagi orang-orang tertentu semacam Imam Ali KW (bukan kw dalam arti barang palsu loh, tapi singkatan dari KarramAllah Wajhahu, semoga Allah memuliakan wajahnya), doanya sudah melampaui itu. Doa dan dzikir baginya sama saja.
Ada ungkapan beliau yang sangat masyhur, "Aku lebih suka jika doaku kepada-Nya tidak dikabulkan ketimbang dikabulkan. Karena itu berarti, pilihan Allah padaku lebih aku sukai ketimbang pilihanku yang aku mintakan kepada-Nya. Aku berdoa pada-Nya lebih karena berdoa itu perintah-Nya kepadaku. Aku ini hamba-Nya."
Oleh karena itu, kita lihat di sisi yang lain, Ibn Athaillah misalnya, dalam "al-Hikamnya" berkata,
ماَقـَلَّ عَملٌ بَرَزَ من قلْبٍ زاَهِدٍ ولاكَثـُرَ عملٌ بَرَزَ من قلبٍ رَاغِبٍ ٭
"Tidak dapat dianggap kecil/sedikit amal perbuatan yang dilakukan dengan hati yang zuhud, dan tidak dapat dianggap banyak amal yang dilakukan oleh seseorang yang cinta dunia."
Mungkin saja pembagian motif hamba yang beribadah pada-Nya berikut dari Imam Ali akan lebih memperjelas apa yang dimaksud.
Dalam kitab Nahj al-Balaghah, sebuah kitab kumpulan nasihat, wejangan, dan kata-kata bijak Ali bin Abi Thalib.
“Ada orang yang beribadah kepada Allah karena ingin sesuatu, itu adalah cara ibadahnya pedagang.
Ada orang yang beribadah kepada Allah karena takut, itu cara ibadahnya budak atau hamba sahaya.
Ada pula orang yang beribadah kepada Allah karena rasa syukur, itulah cara ibadahnya orang-orang yang merdeka.” Ketiga cara ini absah adanya/diperbolehkan, tapi cara ketiga itulah yang harus kita tuju. Seakan cara pertama dan kedua itu, kita masih main hitung-hitungan sama Allah. Nah cara ketiga inilah yang dimaksud oleh Imam ibn Athaillah di atas, yakni meski kecil nilainya, tapi kita tidak boleh menganggapnya kecil, karena motif mendasarinya adalah kecintaan/kesyukuran kita pada-Nya. Bukankah sewaktu Nabi saw yang sampai bengkak kakinya karena beribadah kepada-Nya, padahal semua dosanya telah diampuni, ditanya, beliau menjawab, أفلا أحب ان أكون عبدا شكورا (tidakkah aku suka jika aku menjadi hamba yang pandai bersyukur?) Wallahu a'lam