Gambar ”Ulama yang Mentransformasi Umat” (8)

Lisanul hal afsahu min lisanil maqal. Satu pepatah Arab yang bermakna, perbuatan lebih fasih daripada perkataan. Biasanya, ini dikutip untuk menunjukkan perlunya keteladanan dalam dakwah, daripada sekadar ucapan. Tentu saja, dakwah lisan tetap perlu dalam mengajak seseorang mengikuti kebaikan dan menjauhi keburukan. Namun, ucapan verbal saja tidak efektif tanpa dibarengi dengan aksi dan keteladanan.

Kemujaraban dakwah dalam bentuk aksi daripada narasi mungkin bisa diuji selama Ramadan. Saat dakwah menjadi lebih intens lewat mimbar masjid, musala, rumah dan kantor. Juga lewat media cetak dan elektronik seperti televisi. Jangan lupa, flatform media digital berbasis internet (seperti media sosial) menjadi media dakwah paling masif dan terpenting saat ini. Ia berpenetrasi hingga ke ruang-ruang paling personal kita. Maka, kesibukan pemiliki gawai pintar tidak bisa jadi alasan untuk tidak menerima pesan dakwah selama Ramadan.

Menarik membandingkan keragaman karakter mubalig di masa lalu dalam sosok ulama dengan ustaz di era digital ini. Seperti sudah diulas pada seri tulisan sebelumnya (#7), di masa lalu mubalig umumnya muncul dalam sosok ulama. Atau anregurutta dalam masyarakat Bugis, anrongguru di Makassar, dan annangguru di Mandar. Di bawah level anregurutta, ada gurutta dan ustaz. 

Mubalig era modern umumnya berkeliling mendatangi objek dakwah. Bahkan, selama Ramadan, beberapa mubalig meninggalkan rumah dan keluarga mereka untuk berdakwah di satu atau beberapa tempat yang jauh selama sebulan penuh. Mubalig modern tidak perlu lebih dahulu mengetahui karakter dan kebutuhan khalayaknya. Terkadang, satu materi ceramah Ramadan dari seorang mubalig dapat dia ceramahkan selama lima atau sepuluh malam di masjid berbeda. 

Sementara itu, ulama di masa lalu (dan sedikit di masa kini) umumnya berdakwah hanya di masjid yang dia bina. Masyarakat yang berharap mendengar ceramah atau mendapatkan pengetahuan agama sang ulama harus mendatangi masjid di mana ulama itu mengajar dan berdakwah setiap waktu. Dengan kata lain, bukan sumur yang mendatangi timba, tapi sebaliknya.

Dalam dua ayat Al-Qur’an disebutkan beberapa bentuk dakwah. Misalnya dalam bentuk amar ma’ruf nahi munkar (QS/7: 157), yaitu menjelaskan halal-haram (syariat Islam), meringankan beban derita dan melepaskan hal-hal yang membelenggu umat. Bentuk lainnya (QS 3: 164): tilawah (membacakan ayat-ayat Allah), tazkiyah (menyucikan diri sendiri), dan ta’lim (mengajarkan Al-Kitab dan Al-Hikmah). 

Berdasarkan kedua ayat tersebut, dan ayat-ayat lainnya, Jalaluddin Rakhmat (2021, 129-131), menyimpulan empat bentuk dakwah: tilawah, tazkiyah, ta’lim, dan ishlah. Yang terakhir diartikan, melepaskan beban dan belenggu-belenggu. Peran mubalig era modern mungkin mencakup tilawah dan ta’lim. Sementara ulama mencakup semua bentuk dakwah tersebut karena faktor-faktor yang akan diulas di bawah.

Pada seri tulisan ke-7 juga, sudah diulas sosok beberapa ulama yang mentransformasi umat. Kita kembali membahas sosok AGH. Abdul Malik Muhammad (1922-2000) sebagai contoh kasus. Sejak akhir 1980-an, reputasi keagamaan AG Malik sudah menyebar luas dan diundang berceramah hingga ke luar Wajo, misalnya ke beberapa provinsi di kawasan timur Indonesia. 

Beliau juga biasa diundang oleh komunitas Bugis di Kota Tawau (negara bagian Sabah, Malaysia). Namun selama dua dekade sebelumnya, AG Malik hanya menyampaikan ceramah tarawih di Masjid Raya Darussalam, Belawa. Biasanya, sebelum AG Malik berceramah, santri senior dan guru dari madrasah yang beliau pimpin tampil lebih dahulu sebagai pembicara pertama.

Selama Ramadan, seperti diulas di seri tulisan #6, ratusan bahkan ribuan warga dari kabupaten sekitar Wajo datang untuk bersalat tarawih dan mendengar ceramah-ceramah AG Malik di Masjid Raya Darussalam. Karena menjadi bagian dari dan bergaul akrab dengan warga masyarakat setempat, AG Malik mengetahui hampir semua sifat atau karakter individual mereka, khususnya kalangan elitenya. Itu sebabnya, tidak jarang, AG Malik dapat menyebut nama mereka yang hadir mengikuti ceramah beliau. Misalnya, pak camat, kepada desa, imam desa, guru, jawara kampung (preman), bangsawan tinggi, dan murid-murid beliau sendiri. 

Penyebutan nama itu dapat bermaksud apresiasi atau candaan bagi mereka. Bisa juga sebagai bentuk sindiran halus demi perubahan mereka dan kebaikan masyarakat. Menariknya, mereka yang disebut namanya oleh Anregurutta nampak malah tersenyum senang. Mereka tidak tampak tersinggung atau dipermalukan. Sebaliknya malah merasa bangga dan terhormat, nama mereka disebut oleh sosok pribadi yang paling dihormati dan dicintai segenap warga masyarakat, di mimbar terhormat pula.

Di masa lalu, para ulama dipandang memiliki pengetahuan luas, karisma personal atau “aura sakral”, seperti digambarkan Kang Jalal. “Orang datang sekadar untuk melihat wajahnya, meneguk sisa air minumnya, atau mengambil berkah dari doanya” (Rakhmat, 1999). Dengan kualitas pribadi seperti itu, wajar jika hubungan ulama dengan jamaahnya seperti hubungan tokoh spiritual dengan para pengikutnya yang setia, atau antara orang tua dan anak. Bukan hubungan profesional antara motivator dan khalayaknya, seperti hubungan mubalig dan Jemaah di era modern.

Pada diri seorang ulama atau anregurutta, berpadu pengetahuan dan pengamalan agama. Seluruh sifat dan perbuatan seorang ulama adalah pantulan atau manifestasi pengetahuannya. Maka, apa yang dia dakwahkan adalah apa yang telah dia wujudkan dalam diri mereka sendiri sepanjang hayat. Tidak dijumpai dilema atau paradoks antara apa yang mereka katakan dan lakukan atau wujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam ungkapan Bugis, “masseddi ada ana gauq” (menyatunya narasi dan aksi).

Pengalaman hidup panjang dan kompleks dalam belajar, menempa karakter, dan berbakti kepada umat, memungkinkan seorang ulama mencapai tingkatan spiritual yang tinggi. Biografinya kerap kali menjelma menjadi kitab akhlak yang terus-menerus diulas dan menginspirasi, walau dia telah wafat puluhan bahkan ratusan tahun silam. 

Sementara mubalig di era modern kerapkali mengalami periode pasang-surut. Di satu waktu, popularitasnya sang mubalig berpencar hingga followers, subscribers atau viewers dari akun medsosnya mencapai puluhan juta. Di masa berikutnya, bintangnya memudar dan khalayak beralih menggemari mubalig lain yang sedang berpendar, dengan cara yang sama. 

Jangankan berceramah, “kehadiran seorang” ulama karismatik di tengah-tengah umatnya sudah merupakan dakwah yang efektif. Saat melangkah masuk masjid, misalnya, seluruh jamaah sontak tenang dan suasana jadi hening. Kecuali anak-anak tentunya, yang memang hobinya bermain di masjid. 

Tidak jarang, seorang ulama berdakwah tanpa melakukan apa pun sama sekali. Sebab, diamnya sendiri sudah merupakan satu bentuk dakwah yang nyata dan efektif. Dalam falsafah Taoisme dikenal konsep “wu wei”, berbuat tanpa berbuat. Terkadang, seseorang dapat menjadi demikian besar dan berpengaruh justru karena dia tidak berkata-kata atau berbuat apa-apa. 

Nah, dalam kasus tertentu, diamnya seorang ulama justru menjadi faktor kebaikan tertinggi bagi masyarakat atau umatnya. Dan pilihan diam itu justru yang terberat dari semua pilihan sikap yang ada (apalagi di tahun-tahun politik!). Lantas, masih adakah ulama atau anregurutta dalam sosok di tengah-tengah Anda saat ini dalam sosok yang diidealisasi, atau diglorisasi, di atas? []

-----------
[Diadaptasi & diperluas dari dari Wahyuddin Halim, Taat Ritual Tuna Sosial: Etnografi Reflektif atas Tradisi Ramadan Kaum Muslim Indonesia (Makassar: Carabaca, 2021), Bagian I, #8, h. 42-45]