Start typing & press "Enter" or "ESC" to close
Indonesian
English
العربية
Home
Profil
Pimpinan UIN
Sejarah UIN
Lambang
Visi Misi & Tujuan
Struktur Organisasi
Quality Assurance
Kerjasama Kemitraan
Dasar Hukum Pengelolaan
Pedoman dan Panduan Pengelolaan
Fakultas
Syariah & Hukum
Ekonomi & Bisnis Islam
Tarbiyah & Keguruan
Ushuluddin & Filsafat
Dakwah & Komunikasi
Adab & Humaniora
Sains & Teknologi
Kedokteran & Ilmu Kesehatan
Program Pascasarjana
Lembaga
LEMBAGA
Penjaminan Mutu
Penelitian & Pengabdian Masyarakat
UPT
Pusat Teknologi Informasi dan Pangkalan Data
Perpustakaan
Pusat Bahasa
PUSAT
Pusat Studi Gender dan Anak
Pusat Pengembangan Bisnis
Satuan Pengawas Internal (SPI)
International Office (IO)
Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID)
Biro
Biro AUPK
Keuangan
Kepegawaian
Perencanaan
Umum
Biro AAKK
Akademik
Kemahasiswaan
Kerjasama
Sistem Informasi
Portal Mahasiswa Dan Dosen
Portal Alumni Dan Karir
Portal Kepegawaian/SDM
E-Kinerja
Kuliah Kerja Nyata
SOP
KIP
Capaian Indikator Kinerja Utama (IKU)
Rumah Jurnal
Repository
Ebook
OPAC
Sistem Pengecekan Ijazah dan Transkrip
Registrasi Mahasiswa Baru
Pustipad Helpdesk
UKT Covid
Ujian Masuk Mandiri
Monev Perkuliahan Daring
Tracer Study
Sister
Kuliah di UIN
Penerimaan Mahasiswa Baru
Unit Kegiatan Mahasiswa
Kartu Indonesia Pintar (KIP)
Agenda
Change Languange
English
العربية
UIN dan Modernisasi Kajian Islam
13 Februari 2009
Bahaking Rama
Oleh: Bahaking Rama (Dekan Fakultas Sains dan Teknologi UIN Alauddin) Dinamika sosial dan problematika yang mengitari masyarakat merupakan bagian tak terpisahkan dari sejarah sosial pertumbuhan dan perkembangan pendidikan tinggi Islam di Indonesia. Pendirian Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) merupakan mata rantai dari sejarah perjuangan umat Islam di Indonesia. Sejak awal abad keduapuluh Masehi, masyarakat dan tokoh-tokoh organisasi Islam mempunyai kesadaran kolektif, tentang betapa pentingnya mendirikan PTAI. Tentu saja salah satu tujuan penting dari pendirian PTAI tersebut adalah mengkader generasi muda Islam sebagai calon-calon intelektual muslim. Hal ini penting oleh karena dalam sejarah awal perkembangan Islam di tanah air, menurut (alm) Nurcholish Madjid, umat Islam Indonesia hanya memiliki tradisi intelektual yang relatif masih lemah, karena kepustakaan tidak banyak menyajikan karya-karya klasik yang bertaraf internasional. Juga karena tradisi intelektual Islam, terutama pada periode pramodernisme, kurang dikenal atau masih sangat terbatas diketahui, baik oleh kalangan peneliti Islam maupun kaum muslimin sendiri. Tujuan lain dari pendirian PTAI adalah untuk mengimbangi pemikiran keagamaan kelompok nasionalis "sekuler". Artinya, pada saat yang sama, kelompok nasionalis "sekuler" merupakan kekuatan yang sangat berpengaruh di luar kelompok agamawan "Islam". Kepeloporan kelompok Islam yang sejak lama diperhitungkan sebagai anti kolonialisme dan pendorong bangkitnya semangat nasionalisme, seringkali terhambat karena kehadiran dan dominasi kelompok elite terpelajar didikan kolonial Belanda. Mereka mendominasi percaturan politik nasional, terutama pada akhir masa pendudukan Belanda dan awal kedatangan pendudukan Jepang. Dalam situasi seperti itulah, kesadaran kelompok Islam semakin tinggi, bahwa betapa dibutuhkan adanya intelektual muslim yang pakar dalam dua bidang sekaligus, yaitu menguasai pengetahuan Islam secara luas dan mendalam serta memiliki standar kualifikasi ilmu umum. Hal ini merupakan suatu keniscayaan dan kebutuhan mendesak supaya umat Islam siap memimpin Negara Indonesia merdeka yang mulai dipersiapkan sejak kebangkitan nasional awal abad ke 20 masehi. Untuk melahirkan intelektual muslim yang dapat menguasai ilmu agama dan ilmu umum (sekuler) sekaligus, sebagaimana dikemukakan di atas, maka institusi pendidikan tinggi Islam merupakan jawaban yang paling mungkin dan realistis. Signifikansi PTAI Membicarakan Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) di Indonesia, maka sejarah lahirnya bermula pada awal tahun 1945, ketika Masyumi memutuskan untuk mendirikan Sekolah Tinggi Islam (STI) di Jakarta. Ini berarti bahwa pendirian perguruan tinggi Islam pertama di Indonesia, dipelopori oleh golongan reformis atau para pembaharu pendidikan Islam. Diakui bahwa atas bantuan pemerintah Jepang, STI akhirnya dapat dibuka secara resmi pada tanggal 27 Rajab 1364 H, bertepatan dengan tanggal 8 Juli 1945 M, di Jakarta. Pada awalnya, STI didirikan supaya melatih ulama-ulama atau intelektual muslim untuk mempelajari Islam secara lebih meluas dan mendalam serta memperoleh standar pengetahuan umum yang memadai sebagaimana tuntutan masyarakat Indonesia. Hal ini sesuai tujuan didirikannya STI, yang pada dasarnya merupakan kebutuhan umat Islam Indonesia akan adanya perguruan tinggi yang memberikan pelajaran dan pendidikan tinggi tentang ilmu-ilmu agama Islam dan ilmu-ilmu kemasyarakatan, agar menjadi penyiaran agama dan memberikan pengaruh Islam di Indonesia. Para pendiri STI berupaya mencari bentuk perpaduan pendidikan yang kelak diharapkan dapat melahirkan ulama yang pakar dalam dua bidang sekaligus, mempelajari Islam secara luas dan mendalam serta memiliki kualifikasi ilmu-ilmu umum (sekuler) yang memadai. Dalam sejarah perkembangan STI, para pimpinannya ingin lebih meningkatkan efektivitas fungsi STI dengan menjadikannya sebagai sebuah Universitas. Tindak lanjut dari keinginan tersebut, dibentuklah suatu panitia perbaikan STI pada bulan November 1947 (semacam tim konversi perubahan status IAIN ke UIN Alauddin Makassar tahun 2005, meskipun tentu terdapat perbedaan). Keputusan penting dari kepanitiaan ini adalah mengubah STI menjadi Universitas Islam Indonesia (UII) dengan membuka empat fakultas; yaitu Fakultas Agama, Fakultas Hukum, Fakultas Pendidikan, dan Fakultas Ekonomi. Perubahan status dari sekolah tinggi menjadi universitas merupakan fenomena menarik, terutama jika dilihat dari fakultas-fakultas umum (ekonomi, hukum, dan pendidikan). Dengan perubahan tersebut di atas, tujuan yang semula dimaksudkan untuk memberikan pendidikan yang baik bagi para calon ulama, akhirnya bergeser titik tekannya pada (menurut sebagian pandangan) fakultas-fakultas non agama yang bersifat "sekuler", namun tetap berlandaskan nilai-nilai agama Islam. Meskipun kemudian berdiri beberapa PTAI swasta di berbagai daerah, tetapi UII-lah yang menjadi pelopor lahirnya Perguruan Tinggi Agama Islam Negeri (PTAIN) di Indonesia. Salah satu tujuan dibentuknya PTAIN adalah "untuk mengatasi kekurangan tenaga ahli dalam bidang ilmu agama Islam yang sangat diperlukan, baik oleh pemerintah maupun oleh masyarakat pada umumnya." Sebelum berdirinya perguruan tinggi agama Islam di Indonesia, para alumni madrasah dan pesantren melanjutkan studinya ke lembaga pendidikan tinggi agama di Timur Tengah, Mekah maupun Kairo-Mesir. PTAIN diharapkan dapat menjadi pusat pengembangan ilmu-ilmu keislaman di Indonesia. Untuk lebih memperluas bidang kajian yang dapat dipelajari, maka perubahan atau transformasi kelembagaan dari PTAIN ke bentuk baru perlu dilakukan, tanpa melanggar aturan perundang-undangan. Dari gagasan ini, para tokoh-tokoh Islam bermaksud untuk mengembangkan, meningkatkan, dan memperluas lembaga PTAIN dalam bentuk Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Dari gambaran di atas, tampak bahwa cikal bakal lahirnya IAIN dapat ditelusuri sebagai kelanjutan dari ide STI menjadi UII, ke PTAIN. Namun, lebih dari itu, IAIN memiliki sejarah tersendiri yang lebih rumit dan kompleks. Keinginan untuk mendirikan IAIN pastilah bukan hanya berkaitan dengan persoalan-persoalan ideologis (keagamaan) semata, tetapi juga menyangkut aspek politis dan sosiologis. Pada pasal dua peraturan Presiden No.11 tahun 1960, tentang pembentukan IAIN dikemukakan, bahwa tujuan instruksional IAIN yaitu untuk memberi pengajaran tinggi dan menjadi pusat untuk memperkembangkan dan memperdalam ilmu pengetahuan tentang agama Islam. Hal ini tidak jauh berbeda dengan tujuan PTAIN. Pada tanggal 24 Agustus 1960, menteri agama (Wahib Wahab) meresmikan pembukaan IAIN di Yogyakarta. PTAIN Yogyakarta diubah menjadi Fakultas Ushuluddin dan Fakultas Syariah, sedangkan ADIA Jakarta diubah menjadi Fakultas Tarbiyah dan Fakultas Adab. Pada tanggal 25 Februari 1963, Menteri Agama mengeluarkan SK no 49 tahun 1963, tentang pemisahan IAIN menjadi dua Institut yang berdiri sendiri. Pertama berpusat di Yogyakarta dengan nama IAIN Sunan Kalijogo. Kedua berpusat di Jakarta dengan nama IAIN Syarif Hidayatullah. Dari kedua kota inilah, IAIN dengan cepat berkembang ke daerah-daerah di nusantara. IAIN Sunan Kalijogo Yogyakarta bertugas mengkoordinir dan membina fakultas-fakultas hingga berdiri sendiri mernjadi IAIN di wilayah timur, meliputi Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan, Sulawesi, dan Nusatenggara. IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta bertugas mengkoordinir dan membina fakultas-fakultas hingga berdiri sendiri menjadi IAIN di wilayah barat, meliputi Jakarta Raya, Jawa Barat, dan Sumatera. Sampai dengan tahun 1972, telah berdiri 14 buah IAIN dengan cabangnya masing-masing yang tersebar di seluruh Indonesia. Pada tahun 1997 berdasarkan Keputusan presiden, Cabang-cabang IAIN berubah status menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) yang otonom (lepas dari IAIN induknya). Perkembangan berikutnya, pada awal tahun 2000, berdasarkan Peraturan Presiden, IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta berubah status menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Pada tahun 2004, IAIN Sunan Kalijogo Yogyakarta, STAIN Malang, dan IAIN Sutan Syarif Qasim Riau, juga berubah Status menjadi UIN. Kemudian pada tahun 2005, IAIN Alauddin Makassar dan IAIN Sunan Gunungjati Bandung, juga berubah Status menjadi UIN. Artinya, di Indonesia dewasa ini, terdapat enam buah UIN. Kehadiran UIN sebagai proses pergumulan, semakin memantapkan posisi umat Islam di Indonesia. UIN merupakan bentuk simbolisme (lambang kemajuan Islam) di Indonesia. Bahkan, Boland mengemukakan, bahwa dengan sikap terhadap pendidikan yang cukup maju, mungkin sekali Indonesia berada di posisi paling depan di dunia Islam keseluruhannya. Ke enam UIN di Indonesia membuka beberapa fakultas baru dengan sejumlah program studi (prodi) umum atas izin operasional Dirjen Dikti Departemen Pendidikan Nasional. Kecenderungan masyarakat mendaftar di UIN tampak semakin tinggi dari tahun-ke tahun, baik pada prodi agama maupun/terutama prodi umum. Untuk memacu perkembangan integrasi keilmuan, UIN membukan jaringan kerja sama dengan berbagai perguruan tinggi atau lembaga terkait, baik dalam maupun luar negeri. Pengembangan Sains dan Teknologi misalnya, enam UIN di Indonesia mengadakan kerja sama dengan Institut Teknologi Bandung (ITB) yang penandatanganannya berlangsung di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Ahad 21 Desember 2008 oleh Rektor masing-masing, disaksikan Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama. Program kerja sama pada bidang pengembangan kurikulum, penelitian, pembukaan program Diploma khusus, Program S2 sainstek, pengelolaan laboratorium, pelatihan tenaga laboran, dan pertukaran dosen, akan dimulai tahun 2009 ini. Dengan demikian, kehadiran UIN dengan visi integrasi ilmu dan peradaban, dapat memperluas dan memperluwes pemahaman pebelajar dalam mengkaji Islam yang ajarannya bermuara pada "rahmatan li al-alamin" dan keselamatan ukhrawi.