Gambar TUNANGAN


Hari ini—lagi dan lagi—seorang nona 19 tahun datang ke ruang praktik.

Ia mengaku tidak haid selama enam bulan. Sejak semalam, perutnya sakit disertai bercak darah. Pelan-pelan, ia bercerita bahwa kemarin sempat menelan dua butir obat penggugur kandungan, dibeli dengan harga fantastis dari seorang kawan.


Saat pemeriksaan, mataku menangkap linea nigra di perutnya—garis gelap tanda kehamilan.

Pemeriksaan USG menampakkan jelas janin berusia 27 minggu.

Gadis ini cantik: bulu mata lentik berlapis maskara, lensa kontak coklat, bibir merah bergincu, kuku dihiasi nail art. Sesekali ia menunduk, menahan nyeri.


“Kamu datang sama siapa, Nak?” tanyaku pelan.

“Sama kawan, Dok,” jawabnya lirih.

“Pacar?”

Ia mengangguk.

“Di mana ibu dan ayahmu?”

“Di luar kota, Dok. Mereka kenal kok dengan pacar saya. Bahkan kami sudah tunangan.”



Aku terdiam. Tunangan… tapi belum menikah.

Hubungan suami-istri sudah dijalani tanpa ikatan halal.

Inilah salah satu wajah zaman ini—pergaulan bebas yang dianggap biasa, bahkan oleh sebagian orang tua. Pacaran adalah starting point nya.


Aku teringat sabda Rasulullah ﷺ:


"Tiga golongan yang Allah haramkan masuk surga: pecandu khamr, orang yang durhaka kepada orang tuanya, dan dayyuts—yaitu orang yang membiarkan keburukan (zina) terjadi di keluarganya." (HR. Ahmad, Nasa’i, Hakim)


Dayyuts bukan hanya ayah yang sengaja mengantar anaknya ke jalan maksiat,

tetapi juga yang pura-pura tidak tahu, atau bahkan bangga anaknya pacaran dan bergaul bebas tanpa aturan.

Mereka membiarkan kehormatan keluarganya diinjak, beralasan “yang penting sudah tunangan,” seakan itu melegalkan yang haram.


Kasus seperti ini semakin sering. Dan yang paling sering menjadi korban adalah wanita:

putus sekolah, kehilangan masa depan, terjebak trauma, hingga risiko kesehatan jangka panjang.

Pernikahan muda tanpa kesiapan ilmu dan iman meningkatkan risiko kanker serviks, infeksi menular seksual, hingga komplikasi persalinan yang bisa mengancam nyawa.


Lost generation adalah akibat dari pernikahan dini tanpa ilmu.

Anak diasuh tanpa pengetahuan, gizi keluarga terabaikan, stunting bermunculan, perceraian meningkat, single parent menjadi lumrah, dan masalah sosial pun meluas.

Lantas, di mana peran negara sebagai pengayom rakyatnya?


Kemarin, aku juga menangani gadis dengan kisah serupa—bedanya, janinnya sudah tak bernyawa.

Setiap kali melihat wajah-wajah muda ini, hatiku bergetar.

Betapa mahal harga dari satu kali kelalaian iman dan akhlak.


Maka, untuk kita—orang tua, keluarga, masyarakat—mari bertanya pada diri sendiri:

Apakah kita rela anak yang kita rawat sejak bayi terjerumus hanya karena kita melakukan pembiaran?

Apakah kita tega membiarkan titipan Allah berjalan tanpa pagar dan arah?

Siapkah kita dimintai pertanggungjawaban di hadapan-Nya?


Duhai Ayah, Ibu… surga bukan hanya diperjuangkan dengan shalat dan puasa, tetapi juga dengan menjaga keluarga kita.

Apabila hari ini kita lalai menjaga titipan Allah, kelak di akhirat kita akan menyesal ketika menyadari bahwa surga yang kita dambakan telah tertutup, dan penyesalan itu tak lagi berguna.


Sebelum terlambat, tegakkan pagar iman di rumah kita.

Awasi, bimbing, dan doakan anak-anak siang dan malam.

Jadilah orang tua yang bukan hanya bangga melihat anak sukses di dunia, tetapi juga selamat di akhirat.


Karena kelak, amanah ini akan ditanya:

“Bagaimana engkau menjaganya?”