Gambar Tumor yang Menangis


Beberapa tahun silam, saat saya sedang jaga malam di rumah sakit, sekitar pukul 2 dini hari, datang seorang ibu setengah baya bersama putrinya, seorang remaja perempuan, kira-kira berusia 18 tahun.


“Dok… tolong anak saya. Sejak tadi perutnya kesakitan, sekarang sudah tak tertahankan. Sampai keluar keringat dingin,” katanya dengan panik.


Saya menoleh ke arah sang putri. Wajahnya pucat, tubuhnya tampak lemah. Perutnya membuncit.


“Iya, anakku kena tumor, Dok. Sudah empat bulan makin besar. Saya takut perutnya pecah. Tolong ya, Dok...” ucap sang ibu dengan mata memelas, nyaris menangis.


Segera saya minta gadis itu untuk berbaring di atas meja periksa. Saya mulai dengan pemeriksaan menyeluruh: inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi.


Namun saat palpasi—meraba bagian perut—saya menemukan sesuatu yang tidak biasa. Terasa ada bagian-bagian kecil... bagian janin.


Saya menarik napas panjang. Huff... sepertinya akan ada drama lagi, batinku.


Belum sempat saya lanjutkan pemeriksaan, tiba-tiba keluar rembesan air ketuban dari jalan lahir. Lalu, tanpa aba-aba, kepala bayi muncul dari jalan lahir.


Saya refleks mengambil tindakan. Menolong persalinan darurat yang terjadi begitu cepat dan tak terduga.


Saking fokusnya, saya tidak sadar bahwa sang ibu—yang tadi panik—sudah pingsan di luar ruang periksa.


Beberapa menit kemudian, bayi lahir dengan selamat. Merah, sehat, dan langsung menangis.


Saya menatap si gadis muda itu. Ia memeluk bayinya dengan mata berkaca-kaca. Lalu saya berkata lembut,


“Besarkan anakmu dengan penuh tanggung jawab. Jangan ulangi kesalahan yang sama. Beranilah berkomunikasi dengan orang tuamu. Setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Perbanyak istighfar, dan mohonlah ampunan kepada Allah.”


Dia mengangguk pelan. Air mata mulai jatuh di pipinya. Saya tak banyak bertanya tentang apa yang terjadi. Saya tahu, ada luka dan cerita panjang di balik semuanya.


Yang jelas, sang ibu—yang kini resmi menjadi nenek—pasti sangat terkejut dengan kejadian ini. Sebuah “tumor” yang ternyata adalah cucunya sendiri.


Fenomena seperti ini semakin sering terjadi.


Lalu siapa yang harus disalahkan?


Apakah si anak, karena pergaulan bebas?


Atau orang tua, yang mungkin terlalu sibuk, hingga lupa mendidik dan mengawasi?


Atau sistem sosial kita, yang makin permisif?


Biarlah ini menjadi bahan renungan kita bersama.


Mari menjadi orang tua yang hadir, mendidik, memeluk, dan membimbing dengan cinta. Jangan hanya sibuk mengejar dunia, lalu lengah menjaga amanah terindah: anak-anak kita.


Allah berfirman:

"Wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka..."

(QS. At-Tahrim: 6)


 "Sesungguhnya setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya."

(HR. Bukhari & Muslim)


Anak bukan sekadar hadiah, tapi juga ujian. Mereka adalah cermin dari rumah. Didiklah dengan hati, bukan hanya dengan marah. Jadilah tempat kembali sebelum mereka mencari pelarian di luar sana.


Semoga Allah menjaga anak-anak kita, dan menjadikan kita orang tua yang amanah. Aamiin yra..