Start typing & press "Enter" or "ESC" to close
Indonesian
English
العربية
Home
Profil
Pimpinan UIN
Sejarah UIN
Lambang
Visi Misi & Tujuan
Struktur Organisasi
Quality Assurance
Kerjasama Kemitraan
Dasar Hukum Pengelolaan
Pedoman dan Panduan Pengelolaan
Fakultas
Syariah & Hukum
Ekonomi & Bisnis Islam
Tarbiyah & Keguruan
Ushuluddin & Filsafat
Dakwah & Komunikasi
Adab & Humaniora
Sains & Teknologi
Kedokteran & Ilmu Kesehatan
Program Pascasarjana
Lembaga
LEMBAGA
Penjaminan Mutu
Penelitian & Pengabdian Masyarakat
UPT
Pusat Teknologi Informasi dan Pangkalan Data
Perpustakaan
Pusat Bahasa
PUSAT
Pusat Studi Gender dan Anak
Pusat Pengembangan Bisnis
Satuan Pengawas Internal (SPI)
International Office (IO)
Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID)
Biro
Biro AUPK
Keuangan
Kepegawaian
Perencanaan
Umum
Biro AAKK
Akademik
Kemahasiswaan
Kerjasama
Sistem Informasi
Portal Mahasiswa Dan Dosen
Portal Alumni Dan Karir
Portal Kepegawaian/SDM
E-Kinerja
Kuliah Kerja Nyata
SOP
KIP
Capaian Indikator Kinerja Utama (IKU)
Rumah Jurnal
Repository
Ebook
OPAC
Sistem Pengecekan Ijazah dan Transkrip
Registrasi Mahasiswa Baru
Pustipad Helpdesk
UKT Covid
Ujian Masuk Mandiri
Monev Perkuliahan Daring
Tracer Study
Sister
Kuliah di UIN
Penerimaan Mahasiswa Baru
Unit Kegiatan Mahasiswa
Kartu Indonesia Pintar (KIP)
Agenda
Change Languange
English
العربية
Tri Pusat Pendidikan: Sekadar Lip Service?
27 Maret 2009
Ulfiani Rahman Idham
Oleh: Ulfiani Rahman Idham (Psikolog UIN Alauddin Makassar) Jika setiap orang mampu memahami urgensi pendidikan keluarga sebagai lingkungan pertama yang merupakan pilar pembentuk generasi rabbani yang diharapkan, maka akan melahirkan lingkungan masyarakat yang mendukung pula. Harian ini (21 Desember 2008) menurunkan berita tentang data prilaku seks bebas (di luar nikah) yang dilakukan oleh para remaja yang masih berstatus sebagai pelajar Sekolah Menengah Pertama (SMP) dan Sekolah Menengah Umum (SMU) dengan menunjukkan jumlah yang cukup fantastis, yakni 63 persen. Jumlah tersebut mengalami peningkatan dibandingkan tahun 2005/2006 berkisar 47,54 persen dan 2007 sekitar 40-45 persen (Sumber: BKKBN). Hasil survei ini merupakan gabungan dari berbagai kota besar di Indonesia, yakni Jabodetabek, Bandung, Medan, Surabaya dan Makassar. Data statistik yang cukup mencengangkan itu membuat bulu kuduk merinding, terutama bagi para pemerhati pendidikan dan pencinta perbaikan moral bangsa. Sebab berujung pada maraknya aborsi ilegal yang gencar diberitakan di media elektronik maupun cetak (Fajar, 3 Maret 2009). Penyebab aborsi karena rasa malu yang sulit dibendung, takut diketahui kedoknya, belum siap menjadi orang tua baik secara mental, ekonomi dan sosial. Apalagi saat ini, di tengah gencarnya pemberlakuan dana pendidikan 20 persen ternyata berbanding terbalik dengan kerja keras para pendidik untuk semakin memperhatikan peserta didiknya. Sebab sudah lebih dari 50 persen perilaku asusila menjangkiti dunia pendidikan kita bahkan berani dilakukan oleh oknum pendidik yang sangat tidak bertanggung jawab apalagi jika berstatus sebagai seorang guru agama. Siapapun akan terperangah (jika nurani berbicara) dengan informasi data tersebut yang mungkin bisa lebih besar jumlahnya tapi lebih sedikit yang diinformasikan. Kemandulan Lembaga Pendidikan? Meskipun demikian, bukan terletak pada banyak atau sedikitnya jumlah yang ditunjukkan tetapi mengapa harus terus berlanjut? Apakah memang pendidikan yang ada selama ini sudah sedemikian kehilangan rohnya untuk memperbaiki moral generasi bangsa disebabkan pelaksanaan pendidikan hanya sekadar komoditi bisnis bagi sebagian pelaku pendidikan agar tetap dapat survive dalam menjalani kehidupan yang semakin penuh dengan iming-iming materi yang tidak akan berujung? Ataukan pendidikan sekadar rutinitas hidup bahwa setelah usia 2 tahun seorang individu sudah bisa dikenalkan dengan dunia sekitarnya lewat sekolah play group kemudian berlanjut ke Taman Kanak-Kanak lalu ke Sekolah Dasar, selanjutnya ke Sekolah Menengah Umum, kemudian lanjut ke perguruan tinggi Strata 1, Strata 2 kemudian Strata 3 dan tidak hanya sampai di situ masih terus berlanjut ke jenjang pendidikan lainnya yang khusus seperti Sandwich? Nah, kapan seorang pendidik akan bisa memberikan pembinaan yang optimal jika harus terus belajar tapi minus kontak dengan pelajarnya? Ataukah kita akan berdalih bahwa itu adalah bumbu-bumbu kehidupan manusia yang ada di bumi ini agar memiliki pekerjaan untuk menambah pundi-pundi amalnya sebelum kembali lagi menghadap pada sang Khaliq? Sehingga itu menjadi takdir yang sulit diubah? Solusi Produktif Untuk mengatasi kekeringan makna dari pola pendidikan disebutkan perlu langkah antisipatif dari pihak-pihak yang paling bertanggung jawab terhadap pendidikan generasi. Tampaknya, upaya antisipasi tersebut masih harus merujuk kepada solusi klasik tetapi masih sangat produktif untuk diaktualkan yakni: Pertama perlu ditegakkan pembinaan yang lebih dini. Dalam hal ini, harus dimulai dari rumah di mana dalam proses pertemuan pasangan suami istri, sampai pada interaksi yang terbangun di dalamnya, harus dilakukan secara baik-baik yakni kembali mempraktikkan ajaran agama secara benar (baca: ada restu dari orang tua, melibatkan keluarga dalam menjalin komunikasi, tidak sering berdua-duaaan di tempat sepi tanpa alasan yang jelas, tidak menggantungkan urusan pada pasangan yang belum pasti muara dari hubungan yang dijalin untuk menghindari munculnya rasa kecewa, dan masih banyak lagi argumentasi lain yang bisa membuat hubungan laki dan perempuan yang sedang kasmaran tidak terjerumus pada perilaku yang bebas). Hal ini penting sebab visi pernikahan yang tidak jelas akan berimplikasi pada misi pembinaan rumah tangga yang kabur pula tentunya. Misalnya, bagaimana mungkin seorang yang tidak direstui orangtua dalam menjalin cinta atau pernikahan apalagi yang terjadi dengan married by accident diharapkan akan menurunkan generasi yang baik atau saleh/salehah seperti kasus di atas walaupun tidak menjamin pula bahwa pernikahan yang direstui akan sebaliknya? Harapannya, bahwa minimal dengan pernikahan yang baik tersebut akan selalu terpanjatkan doa-doa untuk mendapatkan rahmat dari Allah agar kelak anak yang akan dikandung jauh dari godaaan setan. Hingga keluar tetap menjaga mereka secara penuh sehingga terbentuk karakter generasi yang memang benar, yakni sakinah, mawaddah warrahmah. Intinya bahwa dalam mengarungi kehidupan pernikahan harus selalu terjalin komunikasi antar penghuni rumah, selalu bermusyawarah dalam menyelesaikan masalah yang melilit dengan menghindari prasangka yang tidak beralasan. Betapa pentingnya posisi keluarga dalam membentuk keluarga yang baik tersebut, sehingga turun Firman Allah: ?Quw anfusakum waahliikum naara.? Dituangkan pula dalam undang-undang no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang memasukkan pendidikan keluarga dan lingkungan yang dikemas dalam jalur pendidikan informal (pasal 27) sebagai bagian tak terpisahkan dalam sistem pendidikan nasional. Guna mendapat pendidikan yang bermutu tidak akan mungkin diperoleh secara sekejap tetapi butuh komitemen dan proses panjang. Kedua, setelah seorang individu sudah saatnya berinteraksi dengan lingkungan luar rumah yang baik di atas maka setiap orang tentu tidak akan khawatir melepas anaknya untuk ?keluar rumah? sebab dapat dipercaya bahwa lingkungan di mana si anak bergaul tidak akan mencederainya. Dalam hal ini dimulai dari lingkungan sekolah yang kondusif sebab selalu mendorong setiap siswa untuk kreatif dan inovatif, lalu ke pergaulan yang lebih luas di sekitar rumah. Namun jika transfer ilmu yang terjadi hanya dengan pikiran tanpa sentuhan ke hati maka apapun yang ingin dilakukan sepanjang sesuai logika pelaku akan dilakoni. Apalagi usia remaja adalah usia yang selalu ingin mencoba hal-hal yang baru dan sensasional. Dan tidak terkecuali pada orang dewasa. Jika setiap orang sudah merasa menjadi bagian dari lingkungannya maka tentu setiap keluarga akan memberikan sumbangan yang positif dalam menjaga keharmonisannya bermasyarakat. Sebab hal itu terbina dari keluarga yang baik. Demikian pula dengan lingkungan rumahnya tidak akan membuat si anak merasa asing dan khawatir sebab merasa tidak aman atau menemukan lingkungan berbeda dengan rumahnya (baca: teman bermain, sarana dan prasarana yang mendukung tersalurnya aktivitas bermasyarakat, serta keamanan yang tetap terjaga). Jika hal tersebut tidak ditemukan, maka tanda-tanda bahaya pergaulan di depan matapun sudah terbentang tanpa bisa dibendung. Nah akankah kita mengatakan bahwa semua kembali ke keluarga? Hasil penelitian yang sangat popular dan menjadi teori dalam bidang pendidikan dan psikologi bahwa faktor keluarga (bawaan) memberi sumbangan 75 persen dalam membentuk perilaku seseorang dibandingkan dengan faktor lingkungan yang hanya 25 persen, dikenal dalam teori nativisme oleh Arthur Schopenhauer seorang filosof Jerman. Lalu terbantahkan dan muncul teori empirisme oleh John Locke yang mengungkap hasil sebaliknya dengan perbandingan lingkungan dan keluarga (bawaan) adalah 75 persen berbandinng 25 persen. Namun kedua teori tersebut tidak mampu mengakomodasi fakta lapangan yang kemudian memunculkan hasil penelitian berikutnya dengan perbandingan yang sama yakni 50 persen perilaku seseorang dipengaruhi faktor bawaan (keluarga) dan 50 persen faktor lingkungan lewat teori konvergensi yang dimotori oleh Louis William Stern. Ketiga, peran serta pemerintah untuk bertanggung jawab menciptakan kestabilan hidup berbangsa harus terus menjadi perhatian. Sebab pemberlakuan hukum yang jelas serta pembinaan yang sistematis dan terarah akan melahirkan sebuah produk yang baik, khususnya produk sumber daya manusia. Saat ini sangat banyak usaha yang dilakukan oleh para pemerhati pendidikan untuk mencerdaskan masyarakat utamanya generasi muda bangsa. Baik melalui jalur formal, informal dan non formal; baik oleh NGO-NGO maupun kelompok-kelompok swasta, dan yang lebih penting lagi adalah tokoh-tokoh agama dalam memberikan pemahaman ajaran agama. Sebab semuanya belum terlambat seperti belum terlambatnya seorang hamba Allah yang akan masuk neraka karena kemungkarannya setelah melakukan taubatan nasuha. Apalagi masa reformasi membuat setiap orang semakin memiliki keberanian untuk mengemukakan keterbelakangannya ataupun kelebihannya tanpa perlu malu ataupun sungkan bahkan tabu namun harus memahami batasannya sehingga tidak kebablasan. Tentu dengan prosedur yang benar bahkan perlu bersandar pada hukum yang ada. Itulah tuntutan reformasi. Dengan demikian, jika setiap orang mampu memahami urgensi pendidikan keluarga sebagai lingkungan pertama yang merupakan pilar pembentuk generasi rabbani yang diharapkan, maka akan melahirkan lingkungan masyarakat yang mendukung pula. Apalagi jika mendapat pendidikan di sekolah yang kondusif untuk mendorong melakukan hal-hal yang inovatif dan progresif maka tentu bangsa ini tidak perlu susah untuk mencari sumberdaya manusia yang bermutu dari luar (baca: import). Dan mestinya tripusat pendidikan yang selama ini terus dikembangkan untuk sebuah proyek pendidikan yang ideal tidak perlu pula sekadar lip service dalam merealisasikannya. Semoga!