Namanya Zainal. Perawakannya kecil tapi suaranya bariton. Santri kelas tiga di madrasah tsanawiyah (MTs Putra) Pesantren As’adiyah Sengkang, Wajo, ini baru berusia 14 tahun saat saya mengenalnya pada 2012. Tahun ketika saya melakukan riset etnografi di kota tersebut utk penelitian disertasi.
Siang itu, dengan percaya diri, dia tampil berkhotbah Jum’at dalam bahasa Bugis yang fasih di satu masjid di Desa Kampiri, Wajo, yang jemaahnya umumnya orang tua. Sejak sepekan memasuki Ramadan, Zainal sudah menyampaikan masing-masing tujuh topik ceramah tarawih dan ceramah subuh di masjid yang sama.
Zainal adalah satu di antara sekitar 400-an anggota “pa’da’wa” (Bugis) atau tim mubalig Ramadan 1433 (bertepatan dengan Juli 2012) dari Pondok Pesantren As’adiyah Pusat di Sengkang. Salah satu pesantren tertua dan masih yang terbesar di provinsi tersebut saat ini. Setiap Ramadan, pesantren yang didirikan AGH Muhammad As’ad al-Bugisi (1907-1952) pada 1930 ini mengirim ratusan mubalig ke berbagai pelosok nusantara atas undangan warga setempat.
Yang mengundang mereka umumnya adalah warga perantau Bugis. Khususnya, mereka yang berdomisili di kawasan timur Indonesia seperti Merauke, Timika, Sorong, Poso, dan beberapa kabupaten di Kalimantan Timur. Bahkan ada juga yang diundang ke Pekanbaru dan Jambi di Sumatera. Tentu saja, lebih lagi tempat di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat.
Anggota tim pa’da’wa terdiri atas pimpinan, guru, santri, mahasiswa dan alumni lembaga pendidikan binaan Pesantren As’adiyah. Kelompok umur mubalig termuda adalah santri terpilih yang masih duduk di kelas tiga MTs, seperti Zainal itu.
Di atas tingkatan itu adalah siswa-siswi Madrasah Aliyah, mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam (sekarang Institut Agama Islam) As’adiyah hingga mahasantri program khusus yang dikenal dengan Ma’ahad Aly (pengkaderan ulama).
Selama Ramadan setiap mubalig kelana dari pesantren ini tinggal di rumah penduduk setempat, seperti imam desa atau ketua pengurus masjid atau warga biasa yang bersedia menjadi tuan rumah. Tentu saja, perlu kesabaran dan ketabahan tinggi dalam beradaptasi cepat dengan lingkungan alam, keluarga, dan warga di mana para mubalig ini bertugas.
Di masa lalu, setiap mubalig harus menyampaikan ceramah tarawih dan subuh hanya di satu masjid selama sebulan penuh. Sekarang, para mubalig dalam satu kecamatan dapat digeser ke masjid di kampung atau desa yang berbeda setiap lima atau sepuluh hari.
Tujuannya, agar jemaah tidak merasa jenuh mendengarkan satu mubalig saja sepanjang Ramadan, walau dengan topik ceramah tarawih dan subuh yang berbeda tiap malam. Selain ceramah tarawih dan subuh, setiap mubalig kelana ini harus menyampaikan khotbah Jum’at selama Ramadan. Rangkain tugas dakwah mereka ditutup dengan menjadi khatib salat idulfitri.
Yang ditugaskan di wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat biasanya dijemput oleh pengurus masjid atau kepala desa. Yang ke wilayah di luar Sulawesi Selatan, terutama lintas pulau, harus berangkat sendiri dengan moda transportasi yang sesuai.
Terkadang, seorang mubalig harus menempuh tiga moda transportasi untuk mencapai lokasi penugasan yang terpencil: pesawat, perahu, dan mobil atau motor. Misalnya yang diundang ke Papua dan Kaltim. Tentu saja, semua biaya transportasi itu ditanggung oleh pihak pengundang.
Satu tradisi yang unik dari para mubalig kelana ini, seusai bertugas, mereka diantar kembali ke kampung halaman masing-masing oleh jemaah masjid setempat apabila lokasi berada di wilayah Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. Kadang kala pengantar menggunakan belasan mobil pribadi dan carteran. Tergantung pada tingkat kesukaan mereka pada performa sang mubalig.
Jemaah juga selalu menyertakan oleh-oleh berupa hasil bumi setempat: beras, jagung, pisang, kelapa, telur, sayur-sayuran, buah-buahan, dan sebagainya. Jelas, ada juga semacam honorarium dari pengurus dan jemaah masjid yang jumlahnya bisa mencapai belasan juta rupiah. Bagaimana tradisi unik dari salah satu pesantren tertua di Sulawesi Selatan ini bermula, itu tentu memerlukan ulasan yang panjang.
Dalam riset saya, sekurangnya para perantau Bugis di luar Sulawesi Selatan memilih mengundang mubalig dari Pesantren As’adiyah karena: (1) hubungan kekerabatan atau kesalingkenalan antara perantau dan warga komunitas pesantren; (2) kepercayaan mereka pada otoritas pengetahuan agama yang dimiliki oleh warga komunitas pesantren ini; dan (3) karena kerinduan mereka mendengarkan ceramah dalam bahasa Bugis yang memang cukup dikuasai oleh para mubalig dari pesantren tersebut.
Di pesantren As'adiyah yang kini dipimpin oleh KH. Prof. Dr. Nasaruddin Umar ini, bahasa Bugis memang digunakan dalam praktik dakwah para santri. Dalam pengajian kitab kuning juga, para kiyai dan guru menerjemahkan dan menjelaskan kitab-kitab berbahasa Arab itu ke dalam bahasa Bugis. Dan di masa lalu, para santri menulis terjemahan atas kitab itu dalam bahasa Bugis dengan huruf lontaraq di margin atau di antara baris tulisan kitab.
Bisa dibayangkan tantangan para mubalig kelana ini. Di masa lalu, mereka harus berceramah dengan topik berbeda tiap malam di masjid yang sama selama 30 hari. Belum lagi harus menyiapkan konsep khotbah Jum’at empat kali, dan satu naskah khotbah idulfitri.
Tanpa bekal pengetahuan agama dari pesantren, doa dan keberkahan dari para kiyai mereka, serta ikhtiar dan semangat dakwah yang kuat, mereka tentu tak akan sanggup mengemban beban berat itu. Apalagi, tidak seperti sekarang, dulu belum ada AG yang dengan cepat mampu memberikan banyak pilihan topik atau bahan ceramah. Kepanjangan AG yang dimaksud tentu bukan Anre Gurutta, tapi Ask Google! atau ”ana'gurunna Google”! hehehe.
Tentu saja akan jauh lebih mudah menjadi mubalig Ramadan di kota besar seperi Makassar. Dengan hanya dua atau tiga topik ceramah andalan, seorang mubalig sudah dapat berceramah setiap malam di masjid-masjid berbeda selama sebulan penuh. Paling tidak, di 10 hari pertama, ya tentang makna dan tujuan puasa ("kutiba"). Di 10 hari berikutnya, ya tentang nuzulul Qur'an. Dan pada 10 malam terakhir tentang lailatulqadar atau zakat fitrah.
Adakan teman FB yang punya pengalaman berceramah dengan maksimal 30 topik berbeda selama Ramadan seperti para mubalig kelana di atas? []