Gambar TRADISI ILMIAH ISLAM YANG PERNAH ADA

Tidak sedikit filosof Muslim yang juga seorang sufi. Demikian juga sebaliknya. Bahkan ada banyak yang kita kenal yang multiahli, memiliki banyak keahlian. Sebut saja misalnya, Ibn Sina, di samping sebagai filosof, dia juga seorang dokter (tabib), dan juga seorang sufi. Karyanya di bidang kedokteran, Asy-Syifa' masih terus mengalami cetak ulang di Barat sampai sekarang.

Al-Ghazali yang digelari Hujjatul Islam, di samping dikenal sebagai seorang sufi, dia juga ahli fiqih, ahli kalam, dan filosof. Karyanya Ihya' Ulum ad-Din, adalah paduan yang sangat mengagumkan antara pengetahuan eksoteris dan pengetahuan esoteris, yang sangat banyak mencerahkan orang-orang yang datang setelahnya. 

Ibn Rusyd, di samping sebagai ahli Fiqih, dia juga seorang filosof yang sangat menguasai filsafat Yunani. Hasil syarahannya terhadap karya Aristoteles tidak tertandingi pada masanya. Demikian sekedar untuk menyebutkan beberapa ilmuwan Muslim yang memiliki beberapa keahlian.

Barangkali kita bertanya, kok bisa ya mereka memiliki beberapa keahlian yang di jaman sekarang mungkin sangat susah mencarinya?

Jawabannya adalah etos keilmuan (semangat, stamina, dan ketekunan) yang dimiliki oleh para Ilmuwan Muslim dahulu itu sudah tidak dimiliki oleh umat Islam zaman ini.

Mereka sadar betul bahwa menuntut ilmu itu adalah kewajiban asasi yang diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Mereka meyakini betul bahwa ini merupakan ibadah yang paling utama melebihi ibadah-ibadah lainnya dalam Islam. Bahkan ibadah-ibadah lainnya sangat bergantung pada ilmu. Tanpa mengilmui, ibadah tersebut menjadi kurang sempurna.

Karena keyakinan inilah sehingga kita mengenal ungkapan yang sangat familiar di kalangan mereka, "نوم عالم خير من عبادة جاهل" (tidurnya seorang 'alim itu lebih baik dari ibadahnya orang bodoh). Karena bisa saja seorang 'alim, karena ilmunya, terlihat melakukan sesuatu yang kita anggap duniawi tapi hakekatnya bernilai ibadah; dan boleh jadi, seorang bodoh terlihat beribadah, tapi karena ada motif tertentu, maka ibadahnya itu jadi tidak bernilai ibadah sama sekali.

Mereka juga sangat meyakini bahwa dengan ilmu mereka bisa mencapai segalanya, baik itu surga, derajat yang tinggi, kebahagiaan dunia akhirat, kekayaan, dan lain-lain.

Di samping etos keilmuan, dukungan atau apresiasi penguasa waktu itu juga sangat besar terhadap para ilmuwan. Tentu saja apresiasi penguasa ini juga besar karena didorong oleh motif keagamaan. 

Selain itu mereka juga sangat meyakini bahwa kemajuan suatu peradaban sangat berkorelasi positif dengan kemajuan ilmu pengetahuan. Di zaman kekhalifahan Abbasiyah, kita tahu adalah kegemilangan dan kejayaan Islam. Di masa itu, ilmu pengetahuan berkembang pesat. Penguasa/khalifah waktu itu sangat apresiatif terhadap ilmu  dan ilmuwan. Bahkan, penguasa terlibat aktif dalam diskusi-diskusi Ilmiah. 

Karya-karya para ilmuwan itu ditimbang dengan emas sebagai bayarannya. Seberapa berat timbangan karya tersebut, seperti itu jugalah berat emas (harganya) yang mereka terima. Karena itu tidak heran jika kemudian peradaban Islam pada waktu itu dikenal dengan peradaban buku, karena begitu banyaknya karya-karya para ulama Muslim yag dihasilkan waktu itu. 

Kalau dibandingkan dengan peradaban lain, perpustakaan Abbasiyah di Baghdad waktu itu mengkoleksi sebanyak kurang lebih 500 ribuan kitab, demikian juga dengan perpustakaan Fathimiyah di Mesir, perpustakaan Maragha.

Peradaban China hanya mengoleksi 2000-an kitab, peradaban India dan Eropa hanya 500-an kitab. Kita bisa melihat betapa jauh perbedaan peradaban kita dengan peradaban-peradaban lainnya dalam hal ilmu. 

Bisa tidak kita bayangkan kalau penguasa atau pemerintah hari ini memperlakukan hal yang sama terhadap para ilmuwan kita? Kenyataannya, hampir bisa kita katakan bahwa profesi ilmuwan penulis saat ini adalah profesi yang paling memprihatinkan.

Pendidikan yang menjadi sokoguru peradaban tidak begitu dihargai di negeri ini. (Maaf ya ini tulisan lama, boleh jadi sudah berubah keadaannya