Pernahkah kita duduk sendirian di malam yang sunyi, lalu membiarkan hati berbicara tanpa topeng dan pencitraan?
Jika seluruh uang yang mengalir di rekening kita diperiksa di hadapan Allah hari ini, adakah satu rupiah pun yang kita malu untuk mengakuinya?
Jika jabatan yang kita pegang diputar ulang seluruh rekam jejaknya di hadapan manusia, adakah bagian yang ingin kita sembunyikan?
Dan jika malaikat maut datang mengetuk tanpa memberi waktu bersiap, adakah kita berani mengatakan: “Ya Allah, aku telah menjaga amanah-Mu dengan setulus hati”?
Pernakah kita bertanya pada nurani kita , untuk Siapa sebenarnya saya bekerja, untuk kepuasan diri , untuk penghormatan manusia, atau untuk Tidha Allah SWT.?
Saat kita menerima gaji kita, tunjangan kita, atau fasilitas dari jabatan yang kita pegang, apakah kita yakin itu semua murni dari hasil kerja yang halal dan bersih dati hak orang lain ?
Apakah amanah yang kita pegang adalah titipan suci yang hatus kita jaga, atau sekedar peluang mengambil sebanyak mungkin sebelum masa jabatan berakhir?
Jika suatu hari Allah SWT. Menanyakan titipannya adakah kita mampu menjawabnya dengan jujur?
Dan yang paing menakutkan, jika ada satu keluarga miskin atau karyawan pas-pasan yang tidak bisa makan karena haknya teratahan di meja kita, atau belum mampu menutupi kebutuhan keluarganya , apkah kita siap memikul dosanya dihadapkan Allah?
Allah sudah mengingatkan dalam firman-Nya:
“وَلَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ"
"Dan janganlah kamu memakan harta sesamamu dengan cara yang batil." (QS. Al-Baqarah: 188)
Ini bukan sekadar larangan mencuri secara terang-terangan. Ini mencakup segala bentuk perampasan yang dibungkus dengan tanda tangan resmi, angka di laporan, atau bahkan “hadiah” yang manis di luar namun racun di dalam.
Fenomena yang Menyamar dalam Wajah Terhormat
Fenomena yang sering sebut melalui media dan diskusi ilmiyah “tikus kantor” atau “tikus berdasi” hanyalah simbol, ia bukan hanya tentang pejabat tinggi atau orang-orang berseragam.
Ia adalah sifat rakus yang bisa menyelinap ke dalam hati siapa saja yang diberi amanah mengelola milik bersama.
Kadang ia ada di kantor pemerintahan, kadang di perusahaan swasta, kadang di lembaga pendidikan, bahkan tak jarang di lembaga keagamaan.
Inilah wajah korupsi yang sering menipu, ia tidak selalu terlihat kumuh dan kotor. Kadang ia datang dengan parfum mahal, jas rapi, dan senyum yang meyakinkan.
Tetapi di baliknya, ada tangan yang mengambil hak orang banyak untuk kepentingan pribadi.
Akar Penyakit: Cinta Dunia dan Lupa Akhirat
Rasulullah SAW. bersabda:
“حب الدنيا رأس كل خطيئة"
"Cinta dunia adalah pangkal segala kesalahan." (HR. Baihaqi)
Ketika cinta dunia bertakhta di hati, ia akan menggerakkan pikiran untuk mencari pembenaran, lidah untuk mencari alasan, dan tangan untuk meraih yang bukan haknya.
Penyakit ini berawal dari lalai mengingat akhirat. Dari merasa aman karena belum tersentuh hukum manusia.
Dari menganggap bahwa selama tidak ketahuan, semuanya halal. Padahal Allah berfirman:
“إِنَّ رَبَّكَ لَبِالْمِرْصَادِ"
"Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar mengawasi." (QS. Al-Fajr: 14)
Mungkin manusia bisa kita kelabui, tapi mata Allah tidak pernah tertutup, dan catatan malaikat tidak pernah salah tulis.
Jalan Menuju Kejatuhan: Dosa Kecil yang Dibiarkan
Korupsi besar hampir selalu bermula dari pelanggaran kecil yang dianggap sepele.
Hari ini membawa pulang barang kantor tanpa izin, besok memanipulasi laporan sedikit saja, lusa menerima “ucapan terima kasih” dari vendor, lalu tanpa sadar, tangan kita sudah terbiasa mengambil hak orang banyak.
Rasulullah SAW. memberi peringatan:
“إياكم ومحقرات الذنوب، فإنهن يجتمعن على الرجل حتى يهلكنه"
"Jauhilah dosa-dosa kecil, karena dosa itu akan berkumpul hingga membinasakan pelakunya." (HR. Ahmad)
Dosa kecil adalah gerbang dosa besar. Jika hati tidak segera diingatkan, ia akan menganggap kezaliman sebagai kelaziman.
Jalan Pulang: Menjaga Amanah sebagai Bekal Surga
Nabi SAW. bersabda:
“كلكم راعٍ وكلكم مسؤول عن رعيته"
"Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan diminta pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya." (HR. Bukhari dan Muslim)
Menjaga amanah bukan hanya kewajiban moral, tapi ibadah yang akan menjadi penentu nasib kita di akhirat.
Jalan pulang dimulai dengan muraqabah , kesadaran penuh bahwa Allah selalu melihat.
Dilanjutkan dengan muhasabah , menghitung diri setiap hari sebelum Allah menghitung kita.
Dan dihiasi dengan qana’ah , merasa cukup dengan rezeki halal, berapapun jumlahnya.
Imam Ali RA berkata:
“القناعة مال لا ينفد"
"Qana’ah adalah kekayaan yang tidak akan pernah habis."
Kesepian di Jalan Lurus
Jalan menjaga amanah mungkin tidak ramai, tidak penuh sorak pujian, dan kadang terasa sepi.
Tapi itulah jalan yang lurus. Jalan yang mengantarkan kita pada tidur yang tenang, hati yang ringan, dan wajah yang berseri di hadapan Allah.
Pada akhirnya, bukan berapa banyak harta yang kita miliki yang akan kita bawa mati, tapi seberapa bersih catatan kita saat dipanggil kembali.
Karena itu, menjadi penting kita untuk senantiasa bermunajat dan melangitkan doa kita agar terus diberi kemampuan untuk menjadi amanah dalam menjalankan tugas dan menjadi konsisten dalam menunaikan tanggung jawab didunia yang akan di oertanggung jawabkan pula diakhirat kelak.
اللَّهُمَّ اجْعَلْ أَيْدِيَنَا نَقِيَّةً، وَقُلُوبَنَا نَزِيهَةً، وَعَمَلَنَا أَمَانَةً، وَخَاتِمَتَنَا حُسْنَى.
“Ya Allah, jadikan tangan kami bersih, hati kami jujur, pekerjaan kami amanah, dan akhir hidup kami husnul khatimah.”
#Wallahu A’lam Bis-Sawab