Ada sebuah untaian hikmah dalam khazanah Islam yang mengetuk pintu hati siapa pun yang membacanya. Kata-katanya sederhana, tetapi memuat kedalaman perjalanan batin manusia:
«أَرْقَى النَّاسِ أَقَلُّهُمْ حَدِيثًا عَنِ النَّاسِ،
وَأَنْقَى النَّاسِ أَحْسَنُهُمْ ظَنًّا بِالنَّاسِ،
وَأَتْقَى النَّاسِ أَكْثَرُهُمْ سَعْيًا لِخِدْمَةِ النَّاسِ.»
“Orang yang paling beradab adalah yang paling sedikit membicarakan orang lain.
Orang yang paling suci adalah yang paling baik prasangkanya.
Dan orang yang paling bertakwa adalah yang paling gigih melayani sesama.”
Tiga kalimat ini seakan membuka tiga pintu bagi siapa saja yang ingin naik menuju kehalusan akhlak, kedewasaan ruhani, dan kemuliaan sosial. Setiap pintu membimbing kita pada satu martabat manusia yang lebih tinggi.
1. Pintu Pertama: Diam yang Memuliakan
Ada keteduhan yang lahir dari diri seseorang yang tidak gemar membicarakan manusia. Ia tidak tergesa menilai, tidak ringan mengumbar aib, dan tidak menjadikan lidahnya pedang yang melukai tanpa sebab.
Ia seperti telaga yang tenang, jernih karena tidak diusik oleh gelombang kata-kata yang sia-sia.
Rasulullah SAW. menegaskan prinsip emas itu:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللّٰهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah berkata baik atau diam.”
Betapa banyak keretakan persaudaraan dimulai dari ucapan yang seharusnya tidak pernah keluar. Dan betapa banyak hati yang pudar bukan karena perbuatan, tetapi karena kata yang tidak dijaga.
Orang beradab adalah ia yang menimbang setiap kata sebelum ia lepaskan, karena ia tahu satu kalimat bisa menjadi bara, dan satu diam bisa menjadi cahaya.
2. Pintu Kedua: Hati yang Melihat dengan Jernih
Bagian kedua dari hikmah itu menyentuh lapisan batin yang lebih dalam:
“وَأَنْقَى النَّاسِ أَحْسَنُهُمْ ظَنًّا بِالنَّاسِ.”
“Yang paling suci adalah yang paling baik prasangkanya.”
Manusia sering gelisah bukan karena dunia yang kejam, tetapi karena cara ia membaca manusia. Ada jiwa yang cepat curiga, mudah menuduh, dan lekas melihat sisi gelap.
Namun ada pula jiwa yang lapang yang memilih memahami sebelum menilai, menimbang sebelum menyimpulkan, dan memaafkan sebelum menyesalkan.
Rasulullah SAW. memperingatkan:
إيَّاكُمْ وَالظَّنَّ، فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ
“Jauhilah prasangka, karena prasangka adalah sedusta-dusta perkataan.”
Prasangka buruk mencuri ketenangan sebelum kebenaran datang. Ia membuat kita berperang dengan orang yang tidak bersalah,
dan menghukum niat yang tidak pernah dilakukan.
Kesucian hati bukan berarti tak pernah kecewa, tetapi mampu jernih ketika ia bisa memilih keruh.
3. Pintu Ketiga: Ketakwaan yang Menampakkan Diri Melalui Pelayanan
Martabat tertinggi dalam tiga hikmah ini adalah pelayanan:
“وَأَتْقَى النَّاسِ أَكْثَرُهُمْ سَعْيًا لِخِدْمَةِ النَّاسِ.”
“Yang paling bertakwa adalah yang paling gigih melayani manusia.”
Takwa bukan hanya panjangnya sujud dan lamanya berdiri, tetapi luasnya manfaat yang kita sebarkan.
Ada orang yang lisannya penuh doa, tetapi tangannya kikir membantu. Ada yang hafal ayat, namun sukar mengulurkan kebaikan. Ada yang kuat di malam hari, tetapi lemah dalam menolong di siang hari.
Padahal Rasulullah SAW. telah menyimpulkan dengan terang:
خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاسِ.
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia.”
Melayani tidak selalu tentang harta.
Kadang ia adalah telinga yang mau mendengar, bahu untuk bersandar, waktu untuk hadir, atau hanya sekadar mempermudah urusan orang lain.
Pelayanan adalah puncak takwa, karena ia menembus batas ritual dan menjelma menjadi kasih sayang.
Tiga Martabat Ini: Cermin Manusia yang Utuh
Jika tiga ungkapan itu dirangkai, kita menemukan peta akhlak yang lengkap:
Diam dari membicarakan manusia , itu adab. Berbaik sangka kepada manusia , itu kesucian hati. Melayani manusia ,itu ketakwaan.
Adab menjaga agar kita tidak menyakiti.Husnuzan menjaga agar kita tidak membenci.Pelayanan menjaga agar kita tidak hidup hanya untuk diri sendiri.
Di situlah letak kemuliaan seorang hamba, pada lisannya yang tertib,
pada hatinya yang bening,
dan pada tangannya yang ringan.
Jalan Terang bagi Jiwa yang Ingin Naik Tingkat
Hikmah ini bukan sekadar kata-kata indah. Ia adalah panggilan halus bagi jiwa yang ingin tumbuh.
Panggilan untuk menenangkan lisan dari mengurusi aib manusia. Panggilan untuk menenangkan hati dari prasangka yang melelahkan.
Panggilan untuk menenangkan hidup melalui manfaat yang kita berikan.
Hidup terlalu singkat untuk dihabiskan dengan mengawasi kekurangan orang lain. Terlalu mulia untuk dikotori prasangka. Dan terlalu berharga untuk tidak menjadi cahaya bagi sesama.
Barang siapa berjalan melalui tiga pintu ini, maka ia sedang naik dari manusia biasa menuju manusia yang kehadirannya menjadi rahmat,
seperti cahaya lembut yang menuntun hati yang letih menemukan pulangnya.
#Wallahu A’lam Bus-Shawab
Alat AksesVisi