Apakah Anda masih mengingat bagaimana pertama kali menatap wajah bayi Anda?
Rasa haru, bahagia, takjub, dan seolah tak percaya bercampur menjadi satu.
Bagaimana mungkin… dari cairan, berubah menjadi makhluk sempurna.
Makhluk kecil yang Allah bentuk sedemikian rupa.
Amazing!
Saat itu, hanya ada satu kalimat yang terasa pantas terucap: “Subhanallah… Maha Suci Allah, Sang Maha Kuasa dan Pencipta.”
Hidup ini adalah rangkaian episode kehidupan:
Kita pernah remaja, lalu dewasa, menikah, mengandung, melahirkan…
Dan kini, tibalah saatnya menjadi orang tua.
Namun menjadi orang tua bukan sekadar menyandang gelar “ibu” atau “ayah”.
Lebih dari itu, ini adalah amanah—untuk merawat, mendidik, mengasuh, dan membentuk jiwa serta akal seorang manusia yang kelak akan menjadi bagian dari sejarah peradaban.
Peran kita ibarat seorang tukang kebun.
Anak-anak adalah benih. Setiap benih punya potensi tumbuh menjadi pohon kuat dan rindang, yang menaungi dan memberi buah bagi sekitarnya.
Tugas kita adalah memastikan mereka tumbuh di tanah yang subur: rumah yang penuh cinta, disiplin, nilai, dan doa.
Tanah itu adalah rumah kita.... kita siram dengan kasih sayang, pupuk dengan ilmu, dan cabut duri dengan sabar.
Berikan keteladanan, bukan sekadar perintah.
Karena anak tidak hanya mendengar, mereka meniru.
Jika ingin anak jujur, maka jujurlah dalam hal kecil.
Jika ingin anak bertanggung jawab, beri mereka kepercayaan walau dalam tugas sederhana.
Jika ingin anak cinta Allah dan Rasul-Nya, maka perkenalkan agama bukan dengan ancaman, tapi dengan kehangatan dan keteladanan.
Ingatlah… anak bukanlah kertas kosong.
Mereka seperti batu marmer, dengan bentuk yang sudah ada di dalamnya.
Kitalah pengukirnya.
Satu goresan kasar bisa meretakkan jiwa mereka. Tapi sentuhan yang lembut dan sabar akan menampakkan keindahan batin mereka, perlahan tapi pasti.
Membangun generasi gemilang tak cukup hanya dengan mengejar nilai sempurna di rapor.
Tapi dengan membentuk karakter: yang jujur, peduli, berani, dan tahu arah hidupnya.
Ajarkan mereka mencintai ilmu, bukan hanya untuk sukses, tapi agar bermanfaat bagi orang lain.
Ajarkan mereka mencintai negerinya, bukan dengan bendera dan lagu saja, tapi dengan tekad untuk memperbaiki, melayani, dan menginspirasi.
Dan yang tak kalah penting: doakan mereka....
Karena sehebat apapun usaha dan strategi kita, hati anak adalah milik Allah.
Tugas kita adalah berikhtiar sebaik-baiknya, dan menyerahkan hasilnya kepada Sang Maha Membolak-balik hati.
Maka mari kita mulai dari hal-hal kecil, dari rumah kita sendiri.
Dari pelukan hangat sebelum tidur.
Dari makan malam tanpa gawai.
Dari waktu yang kita sisihkan meski hanya 10 menit sehari untuk mendengar cerita mereka.
Karena sesungguhnya, masa depan bangsa ini sedang kita bentuk—hari demi hari—dalam ruang kecil bernama rumah.