MOHON maaf atas segala khilaf dan kekurangan.
Ucapan ini kerap kali kita dengar, baik lisan maupun tulisan pasca lebaran.
Ada apa dengan kata “maaf”?
Ternyata, minta maaf memiliki banyak manfaat loh (QS. Asy Syu'ara: 40).
Dari lusinan manfaat meminta maaf, diantaranya: memulihkan hubungan dan meredakan perasaan terluka.
Benar juga kata orang, lebaran tanpa maaf ibarat Buras tanpa Nasu Likku’!
Coba Anda makan Buras tanpa Nasu Likku’, Ai Makalêllêng Isedding. Atau sebaliknya, Anda makan Nasu Likku’ tanpa buras, Ko Mêlo’ ko Nasanni’ Likku’ Manu’.
Kata ‘maaf’ bisa juga diibaratkan sebuah mesin mobil. Ya, mesin mobil harus di servis berkala secara rutin, agar menjaga performa mobil lebih segar dipakai, mencegah kerusakan, dan menghemat biaya bahan bakar.
Seperti itulah eksistensi “maaf”, harus di restore berkala secara rutin, untuk membantu mengatasi kesalahan historis, utamanya mendorong mempererat tali silaturahmi.
Meminta maaf bukan berarti kita bersalah berat dan dia benar sekali. Nehi!
Meminta maaf dilakukan karena hati kita lebih tinggi daripada egosentris bercokol dalam dada.
Coba Anda bayangkan, bila sifat arogansi terus liar berkecamuk dalam dada, atau keangkuhan menjajah sukma; ia bisa menciptakan energi negatif untuk kurang ajar & berbuat jahat. Oh Masêtang Maneng Tau ê Nita.
Semua orang pasti setuju bahwa saat berbuat salah, kita harus meminta maaf. Tanpa kerelaan untuk meminta maaf, hubungan dengan orang lain bisa rusak. Teman-teman dan bahkan keluarga bisa menjauh jika kita enggan minta maaf, karena jelas telah berbuat salah masih ego.
Bukankah orang yang mengaku salah lalu mohon maaf, pertanda jiwa ksatria alias gentleman-gentlewoman? gentlebencong-Calabai juga. Mereka berani mengubah kesalahannya ke arah perbaikan adalah langkah awal menuju sahabat sejati!
Type manusia 3 bro: Manusia sejati, Manusia pedati, Manusia sakit hati (segment ini suatu saat akan diurai).
Ketika seseorang benar-benar meminta maaf, ia tidak hanya mengakui bahwa dirinya keliru nan khilaf, tetapi juga berusaha memahami bagaimana kesalahannya dapat memengaruhi orang lain. Ia tidak mencari pembenaran, melainkan dengan rendah hati menerima konsekuensi dari tindakan dalalat-nya.
Syahdan, orang yang gemar meminta maaf, perasaan sakit hati (dendam) itu pun akhirnya plong, begitu pun dengan orang yang kita minta maaf, merasa lapang dada pula.
Itulah sebabnya, meminta maaf perlu tajdid alias direstorasi.
Apalagi momen lebaran masih terasa, silahkan obral maaf kepada siapa pun. Cukup sekali saja meminta maaf setiap orang saat itu!
Terlalu sering minta maaf juga jelek, Nasengngi’ Tau ê Matu’ Tau Jangeng!
Bila sering kali meminta maaf (untuk seseorang) padahal kita tidak melakukan kesalahan. Entah karena ingin menghindari konflik, atau sekadar ingin menyenangkan hati orang lain. Hal ini tidak elok juga. “Harga Diri Gank” kata Bugis Makassar.
Pertanyaan
Mana lebih berat: meminta maaf atau memberi maaf? Siapa paling mulia: orang meminta maaf dan memberi maaf? Atau Siapa paling dicintai Tuhan YME, “Hamba gemar meminta maaf” atau “Si Fulan yang memberi maaf”?
Bagi yang bisa jawab, didoakan smg cepat naik haji bagi yang sudah jual tanah kavling!