Beberapa waktu lalu, kami menangani seorang pasien perempuan berusia 34 tahun. Wajahnya bersinar penuh harap. Setelah penantian panjang selama tujuh tahun, akhirnya Allah menitipkan kehidupan di dalam rahimnya. Ia bersama suami datang setiap bulan dengan senyum tak habis-habis, menyebut-nyebut nama bayinya yang belum lahir, dan memeluk perutnya dengan doa yang tulus.
Namun, hidup tak selalu memberi sesuai harapan.
Di usia kehamilan tujuh bulan, ia mulai merasa gelisah—janinnya tak lagi bergerak. Kami lakukan USG, dan layar itu menjadi saksi sunyi: jantung sang janin telah berhenti berdetak. Kematian Janin Dalam Rahim (KJDR).
Saya menatap matanya ketika kabar itu saya sampaikan. Ia tak menangis saat itu. Hanya diam, lalu berbisik,
"Ya Allah... jika ini cara-Mu menyapaku, maka ajarilah aku menerima dengan sabar."
Di tengah kepedihannya ia berkata,
"Mungkin jatahku hanya tujuh bulan bersama anak ini. Mungkin ia langsung dijemput untuk menungguku di surga. Aku hanya ingin tetap percaya, bahwa semua ini bukan sia-sia."
Dari ruang bersalin yang hening itu, saya belajar satu hal:
Bahwa hidup tak selalu memeluk kita dengan manis. Tapi justru dari pahitnya kehilangan, kita mengenal keikhlasan. Dari pedihnya perubahan, kita tumbuh dewasa dalam iman.
.......
Pernahkah kita bertanya dalam keheningan malam,
mengapa hidup tak pernah tenang-tenang saja?
Mengapa setelah gelak tawa datang linangan air mata?
Mengapa setelah helaan lega muncul sesak di dada?
Mengapa hidup tak bisa diam, tak bisa stabil selamanya seperti foto yang terpajang di dinding?
Lalu pikiranku menjawab:
Karena hidup memang diciptakan untuk bergerak.
Karena diam itu milik kematian—bukan kehidupan!
Lihatlah tubuh kita yang rapuh ini. Jantung berdetak tanpa lelah sejak kita lahir—100.000 kali sehari, 35 juta kali setahun. Darah mengalir dalam pembuluh darah, membawa oksigen ke setiap sudut tubuh. Sel-sel terus membelah, memperbaharui diri, terjadi regenrasi sel, sementara otak tak henti menafsir setiap detik yang berlalu.
Ketika semua itu berhenti—bukankah itu pertanda ajal telah tiba??
---
Begitulah hidup. Ia tak pernah benar-benar diam.
Ia adalah sinema yang terus berputar, episode yang tak pernah tayang ulang.
Setiap fajar adalah lembar baru, dan tak ada manusia yang mengulang hari yang sama—meski kalender menuliskan angka yang serupa.
Ujian atau Pelatihan?
Hidup bergerak karena ia sedang menguji.
Kita sedang dilatih:
dengan nikmat atau sempit,
dengan tawa atau kecewa,
dengan kehadiran atau kehilangan.
Dan, semuanya bukan hukuman—tapi pelatihan...!
Agar kita tumbuh, bukan sekadar bertahan.
Agar kita menjadi berlian, bukan batu kerikil.
Allah tak menciptakan hidup agar kita nyaman sepanjang masa,
tetapi agar kita menjadi bijak.
Agar kita mengenal-Nya, melalui setiap perubahan yang silih berganti,
seperti musim yang tak pernah abadi.
Bayangkan jika hidup ini statis selamanya.
Bagaimana kita belajar?
Bagaimana kita memperbaiki kesalahan?
Bagaimana kita kembali setelah tersesat?
Bagaimana kita bangkit setelah terpuruk?
Dinamika hidup adalah ruang taubat.
Celah harapan yang Allah berikan.
Waktu yang dipinjamkan untuk kita menjemput makna di balik setiap peristiwa.
"Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri."
— QS. Ar-Ra'd: 11
Ayat ini mengajarkan bahwa perubahan bukanlah musibah.
Ia adalah undangan—untuk berubah, berbenah, dan menjadi versi terbaik dari diri kita.
Maka tak perlu memaki takdir ketika hidup tiba-tiba berubah arah 180 derajat.
Boleh jadi, itulah jalan tercepat untuk mendekat kepada-Nya.
Boleh jadi, di balik rasa sakit yang mengiris hati, tersimpan hikmah yang tak akan pernah kita pahami... jika hidup terlalu datar.
Kita tidak diciptakan untuk menetap selamanya.
Kita hanya musafir di dunia yang fana ini.
Perubahan adalah pengingat lembut, bahwa satu-satunya yang abadi hanyalah Allah.
Lalu....
Jika hari ini kamu bersedih?
Sabarlah—ini pun akan berlalu seperti hujan yang mereda.
Jika hari ini kamu bahagia?
Bersyukurlah—tapi jangan lalai, karena ini pun tak akan selamanya.