Gambar Tantangan dan Komitmen Berdakwah: Secuil Kisah Perjalanan Ustaz Dasad Latif


Dalam artikelnya yang berjudul Implementasi Konsep "Ngayah" dalam Meningkatkan Toleransi Kehidupan Umat Beragama di Bali, I Gusti Made Widya Sena (2017) antara lain menyinggung tentang definisi dedikasi. Menurtnya, dedikasi adalah suatu pengorbanan, baik dalam bentuk waktu, tenaga, pikiran, maupun biaya, demi mewujudkan sebuah tujuan. Secara umum, dedikasi juga dapat diartikan sebagai pengorbanan.

Secara sederhananya, boleh kita katakana bahwa dedikasi berhubungan  erat dengan ketulusan. Dengan ketulusan hati dan tekad yang tak kenal lelah, seseorang bersedia mengabdikan dirinya untuk bekerja tanpa pamrih, menjadikan setiap usaha sebagai wujud nyata dari dedikasi dan tanggung jawab. Seseorang yang memiliki dedikasi tinggi memandang bahwa kerja keras bukan sekadar kewajiban, tetapi juga panggilan jiwa untuk memberikan yang terbaik bagi orang-orang di sekitarnya. Dedikasi dapat diterakan oleh semua pihak, mulai dari dosen, petani, sopir, satpam, pengusaha, dalam seterusnya, dalam melaksanakan kewajibannya.

Sebagai salah seorang anggota pengurus Bidang Ibadah dan Dakwah Masjid Al Markaz Al Islami, pada Jumat dua pekan lalu, setelah membawakan khutbah di salah satu masjid di kawasan Karuwisi, Makassar, saya datang ke kantor Masjid Al Markaz. Meskipun tidak ada rapat atau undangan, kami sering singgah di sana sekadar untuk menggembirakan atau memakmurkan masjid. Apalagi, adik-adik karyawan telah menyiapkan makanan ringan dan minuman hangat di atas meja tamu, yang bisa dinikmati oleh sesiapa yang hadir.

Tak lama kemudian, beberapa pengurus lainnya juga datang. Suasana menjadi cukup ramai. Saya bersama Ketua Harian, Prof. Mustari Mustafa, serta Adik Falan, mengadakan diskusi ringan mengenai kegiatan yang akan dilaksanakan. Fadlan selain sebagai pengurus, juga adalah mahasiswa saya di Program Pascasarjana UIN Alauddin Makassar. Akhirnya, kami sepakat untuk mengadakan peringatan Isra Mikraj pada Jumat pekan berikutnya. Siapa penceramahnya? Saya mengusulkan Ustaz Dasad Latif, dengan catatan bukan saya yang menghubunginya.

Kami sebenarnya sedikit pesimis bisa menghadirkan Ustaz Dasad, karena biasanya jadwalnya sudah tersusun rapat beberapa bulan sebelumnya. Oleh itu, kami menyiapkan alternatif penceramah lainnya. Saat itu juga, Prof. Mustari menghubungi tiga empat orang penceramah terkenal di Kota Makassar. Dari beberapa nama yang disebutkan, satu orang di antaranya langsung menyatakan kesediaannya.

Setelah pertemuan usai, kami pun bubar. Saya kembali ke kampus, demikian juga dengan pengurus lainnya. Malam harinya, saya diberitahu oleh Prof. Mustari bahwa Ustaz Dasad bersedia membawakan ceramah. Tentu saja kami sangat bersyukur dan membayangkan bahwa Masjid Al Markaz akan penuh sesak dengan jamaah dan massa fanatik beliau.  

Pada hari "H", sekitar satu jam sebelum acara dimulai, tiba-tiba Prof. Mustari menghubungi saya yang sedang dalam perjalanan. Beliau menyampaikan bahwa Ustaz Dasad batal membawakan ceramah hikmah Isra Mikraj. Sementara itu, jamaah sudah mulai memadati masjid sejak sebelum salat Asar. Semua menjadi sedikit panik, termasuk saya. Segera dicari alternatif, tetapi tidak ada lagi ustaz yang berkesempatan.

Apa penyebab pembatalannya? Ternyata Ustaz Dasad mendadak merasa kurang sehat dan sedang mendapatkan perawatan medis dengan infus. Dalam kepanikan tersebut, Prof. Mustari meminta saya mengirim pesan doa kepada Ustaz Dasad agar beliau tetap sehat dan dalam lindungan Allah SWT. Saya pun mengirim pesan tersebut dengan kata-kata yang sederhana, tanpa menyinggung acara yang batal.

Kurang dari lima belas menit sebelum magrib, saya dan keluarga tiba di lokasi. Jamaah sudah sangat ramai, dan saya kesulitan menembus jalur depan karena penuh sesak, meskipun di luar masjid hujan turun dengan derasnya. Akhirnya, saya mengambil posisi di bagian belakang saf laki-laki, tepat di depan saf perempuan.

Setelah salat magrib, protokol langsung memulai acara. Dimulai dengan pembacaan ayat suci Al-Qur'an oleh Ustaz Habibie, tanpa sambutan-sambutan lain sebagaimana lazimnya. Kemudian, protokol menpersilakan Ustaz Dasad Latif untuk menyampaikan ceramahnya. Protokol juga menyampaikan bahwa sebenarnya Ustaz sedang kurang sehat, tetapi tetap hadir untuk memenuhi rasa tanggung jawabnya.

Tentu saja saya sangat terkejut. Saya tidak sempat lagi berkomunikasi dengan teman-teman pengurus mengenai siapa yang akan membawakan ceramah, karena saya datang terlambat dan waktu magrib sudah masuk. Awalnya, dalam undangan acara akan dimulai setelah magrib, tetapi konsep sebenarnya adalah setelah salat Isya.

Alhamdulillah, Ustaz Dasad Latif tampil di hadapan ribuan jamaah dengan penuh pesona dan cirinya yang khas.  Saya duduk tak jauh dari beliau, tepat di bagian depan panggung mini yang sengaja dipanjangkan hingga dekat dengan jamaah perempuan. Saya benar-benar menikmati ceramahnya satu per satu. Beberapa kali saya merekam dan mengambil foto dari jarak yang sangat dekat. Jamaah seolah terpaku, mendengarkan dengan khusyuk. Hampir tidak ada suara lain, kecuali suara dua atau tiga bayi yang menangis.

Di tengah kondisi fisik yang sangat lemah, Ustaz tetap hadir untuk menjalankan tanggung jawab dakwahnya. Karena saya duduk sangat dekat, saya dapat memperhatikan kondisi fisiknya. Dalam catatan saya, hampir sebelas kali beliau batuk, dan sekitar empat kali terlihat sedikit sempoyongan. Namun, semangat dakwahnya mengalahkan rasa sakitnya. Selama lebih dari setengah jam, beliau menyampaikan ceramah di hadapan jamaah yang datang dari berbagai wilayah di Sulawesi Selatan.

Setelah ceramah selesai, beliau masih menyempatkan diri menunggu salat Isya berjamaah. Banyak jamaah yang berusaha menyalaminya dan mengambil gambar bersama beliau. Kondisi fisiknya tampak lemah. Bahkan, ketika tiba di Al Markaz, beliau sempat berbaring sejenak untuk menstabilkan diri. Jamaah terus berdatangan untuk berfoto dengannya, meskipun beliau hanya dalam keadaan duduk. Bahkan, untuk menerima piagam penghargaan pun dari Bapak Andi Heri Iskandar mewakili Pembina yayasan, beliau tetap duduk.

Selepas salat Isya, beliau dituntun turun ke lantai satu menuju mobil yang sudah menunggunya untuk kembali ke rumah. Meskipun demikian, jamaah masih berusaha berkerumun untuk menyalami beliau. Saya ikut mengantar hingga ke mobil, tetapi tidak berusaha menyalami ataupun menyapanya, karena memahami kondisi fisiknya yang terlihat sangat lemah.

Di sinilah bukti kuat adanya dedikasi seorang ustaz. Meski dalam kondisi sakit, beliau tetap rela menjalankan risalah dakwahnya. Itu bukan perkara mudah. Hanya mereka yang memiliki keikhlasan luar biasa yang mampu melakukannya. Semoga Allah SWT melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada beliau, pun kepada kita semua. Wallahu a’lam.

Bakung Samata, 2 Februari 2025