Gambar TAK ADA YANG USANG BAGI JIWA YANG MENYALA Refleksi dari Curhat


Aku pernah bicara pada sahabat dekat,

tentang tubuh yang tak lagi kuat,

usia yang menapak senja,

dan rasa sepi yang kadang menyapa.


“Jika tak menulis, aku mungkin ditinggal,”

bisikku lirih dalam benak yang tak tinggal.

Bagai Putri Ariani, suaranya permata,

meski mata tak memandang dunia.


Aku pun begitu, pikirku pelan,

jika tak kutulis apa yang kutahu,

mungkin aku hilang dari ingatan,

seperti jejak yang ditiup debu waktu.


Namun kini kutemukan cahaya,

dari guruku, dari puisi, dari makna.

Bahwa kejujuran dan ilmu yang kutabur,

akan dikenang, meski tubuh kian rapuh dan kabur.


Kupelajari Protestan dan Katolik bersua,

di tanah Belanda yang dingin tapi terbuka.

Mereka berbeda, tapi tak saling meniadakan,

mereka hidup dalam hormat dan pengertian.


Lalu aku pun bertanya,

mungkinkah Sunni dan Syiah bersapa?

Ahmadiyah pun duduk bersama,

tanpa prasangka, tanpa caci, tanpa luka?


Dan bahkan di rumah Sunni sendiri,

masih banyak dinding yang memisah hati.

Tradisi, dalil, dan ingatan lama,

kadang membuat kita lupa siapa sesama.


Maka kutulis, meski belum sempurna,

karena aku yakin akan ada yang melanjutkannya.

Satu kalimat kecil di pundakku,

bisa jadi jembatan besar di pundak generasiku.


Aku menulis bukan karena kuat,

tapi karena cinta ini tak ingin tamat.

Selama lidah dan pena masih bisa berkata,

aku akan bicara, demi ukhuwah dan cahaya.


Wasalam,

Kompleks GFM, 25 Juli 2025