Gambar Taat Ritual Tuna Sosial

Umat Islam cenderung keliru memaknai ibadah dengan membatasi hanya pada ketaatan ibadah ritual semata. Banyak orang yang menyibukkan diri hanya pada ibadah mahdhah saja. Mereka mengabaikan kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, yang ada di sekitar mereka.

Banyak orang kaya yang khusuk meratakan dahinya di atas sajadah, sementara di sekitar mereka anak-anak tidak dapat melanjutkan studi karena tidak ada biaya pendidikan, orang sakit meregang nyawa lantaran tidak dapat berobat karena biaya pengobatan tinggi, sementara peringatan kegiatan keagamaan menghabiskan biaya yang cukup besar di tengah-tengah masyarakat yang PHK di saat kebutuhan keluarga mendesak untuk dipenuhi.

Kita sering mengatakan bahwa Islam tidak hanya mengatur hubungan dengan Allah swt (Hablun-minallah), tetapi juga mengatur hubungan dengan sesama manusia (hablun-minannas). Sebenarnya semua agama mengandung kedua aspek tersebut. Hanya saja berbeda pada aspek dominan di antara dimensi-dimensi itu. Islam menekankan ibadah dalam dimensi sosial jauh lebih besar dari pada dimensi ritual. Hal ini dapat kita lihat pada beberapa ayat Al-Qur'an misalnya:

Pertama, ketika Al-Qur'an menyebutkan ciri-ciri atau karakteristik orang mukmin atau orang yang bertakwa: Mereka yang menginfakkan rezekinya di waktu lapang atau sempit, mengendalikan emosi atau amarahnya, memaafkan sesamanya, gemar melakukan kebajikan. (QS. Ali Imran/3 : 134).

Nanti pada ayat berikut baru berkaitan dengan ibadah ritual, yakni mereka yang senantiasa memohon ampun atas kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan. (QS. Ali Imran/3 : 135).

Kedua, apabila ibadah ritual kita tidak sempurna, maka ibadah sosial dapat menutupi ibadah ritual yang tidak sempurna itu. Misalnya: Orang tua yang tidak lagi mampu berpuasa atau ibu yang menyusui anaknya, atau karena sakit yang menimpa. Membayar fidyah sebagaimana yang ditentukan oleh ajaran Islam menjadi solusinya, dengan memberi makan kepada fakir miskin.

Demikian pula jika sepasang suami istri melakukan hubungan suami istri di siang hari Ramadan, maka kafaratnya adalah mengganti puasanya dengan berpuasa dua bulan berturut-turut setelah selesai Ramadan, atau memberi makan kepada 60 orang fakir-miskin.

Ini berarti ibadah puasa kita yang tidak sempurna, dapat disempurnakan dengan memberi makan kepada orang-orang miskin. Sebaliknya, ketika kita mengambil hak orang lain, atau berbuat zalim kepada sesama manusia tidak dapat diganti atau ditutupi dengan salat tahajud seribu rakaat pun, atau dengan zikir sebanyak-banyaknya.

Karena yang demikian ini menabrak norma-norma sosial atau cacat sosial. Pesan Nabi kepada salah seorang sahabatnya untuk mengantar makanan kepada seorang ibu, padahal ibu itu sementara berpuasa.

Kata Nabi bagaimana mungkin ibu puasa sementara ibu mengucapkan kata-kata kepada asisten rumah tangga yang tidak layak diucap oleh seseorang yang sedang berpuasa. Nabi berkata singkat: perempuan seperti ini di neraka. Karena dia saleh secara ritual, namun tuna sosial.

Ketiga, memenuhi kebutuhan orang yang berpuasa. Misalnya, memberi buka puasa kepada mukmin yang melakukan puasa dinilai setara dengan membebaskan seorang budak dan dosa-dosanya diampuni Allah.

Seorang sahabat Nabi berkata: Ya Rasulullah tidak semua kami mampu melakukan hal itu. Nabi berkata: Jaga dirimu dari api neraka meskipun dengan segelas air.

Pesan Nabi berkaitan dengan hikmah sosial ibadah puasa menunjukkan bahwa puasa tidak sekedar menahan makan, minum, dan syahwat saja mulai dari terbit fajar sampai terbenam matahari. Mereka yang memperbaiki akhlaknya, dengan mengendalikan pembicaraan, pendengaran, penglihatan, penyentuhan, dan penciuman.

Dalam hal pembicaraan Nabi berpesan: “Beruntung mereka yang mengurangi kelebihan pembicaraannya, dan memperbanyak sedekah dari kelebihan hartanya”.