Mulanya saya pikir hanya di daerah terpencil negara absen. Seperti pembiaran preman melakukan begalisme di Pulau Rempang Tetapi saya baru sadar bahwa di pusat juga negara absen. Negara membiarkan preman mengobrak-abrik pertemuan diaspora. Sebuah pertemuan diprakarsai aktivis bersama diaspora. Polisi atau negara sepertinya absen atau tidak hadir. Seperti kita sedang hidup di negara anta beranta tak bertuan. Memang ada polisi tapi mereka justru ciut dibentak preman. Preman merusak panggung, menyobek backdrop dan mengertak para peserta. Itulah yang terjadi Sabtu lalu di Hotel Kemang Jakarta Selatan. Peristiwa ini segera tersebar luas via medsos dan manca negara. Karena pesertanya adalah para diaspora punya cabang di lima benua. Para preman pun dapat kecaman berbagai pihak. Bahkan ketua jawara Betawi mengeluarkan statemen: "Kami terbuka menerima siapa pun yang ingin beraktivitas di Betavia. Beda etnis, suku, dan agama silahkan cari hidup di Jakarta. Namun kami juga siap melawan preman pengacau dari mana saja." Polisi pun telah bergerak cepat menahan preman itu. Tiga dari lima orang sudah dijadikan tersangka. Sebab melanggar UUD 45 tentang kemerdekaan berkumpul. Pembubaran pertemuan Forum Tanah Air (FTA). Bukan saja memalukan juga memilukan. Pasti akan menurunkan index demokrasi kita sedang turbulensi. Orang mulai mempertanyakan dengan sebuah keprihatinan: Bagaimana mungkin perilaku berbarisme berlangsung di tengah kota? Perilaku semacam ini hanya dikenal di zaman bahaullah. Apakah negaraku yang tercinta masih ada? Atau negaraku sudah bubar dan kembali ke zaman batu? Ternyata kita semakin jauh dari negara modern civilais. Sebuah negara yang warganya saling hormat sekali pun beda. Ide serupa pernah diintrodusir Voltaire, filosof Perancis: "Saya tidak setuju apa yang Anda katakan. Namun akan membela mati- matian hak Anda berpendapat," kata Voltaire. Pandangan yang sama ditulis Syekh Yusuf Al-Qardawi. "Perbedaan adalah sunnatulah. Siapapun yang tidak ingin beda لم يكن وقوعه (Tidak mungkin terwujud dalam realitas). Karena bertentangan dengan sunnatulah. Yang dilarang adalah konflik," kata almarhum al-Qardhawi. Itulah ciri negara demokratis yang dicitakan UDD 45.
Wasalam, Kompleks GFM, 5 Okt. 2024