Swedia adalah nomor urut 7 negara paling bahagia di dunia versi World Happiness Report tahun 2024. Jumlah negara yang disurvei sebanyak 140. Peringkat 1, 2, dan 3 ditempati oleh Finlandia, Denmark, Islandia. Indonesia sendiri berada di urutan ke 80 jauh dari Singapura (30), Malaysia (59), dan Thailand (58). Tulisan ini bukan mau membahas negara paling bahagia di dunia, itu nanti di tulisan lain.
Tulisan ini akan membahas mengenai negara Swedia yang kembali menerapkan kebijakan kembali ke buku cetak setelah tahun 2009 memodernisasi sekolahnya mengganti buku teks dengan komputer dan perangkat digital lainnya. Tujuannya untuk mempersiapkan siswa menghadapi dunia yang digerakkan oleh teknologi, penggunaan komputer dan tablet dianggap lebih menyenangkan dan mudah diakses. Diperkirakan buku teks kertas akan menghilang digantikan buku versi digital yang lebih murah dan mudah digunakan untuk menyambut masa depan (https://international.sindonews.com, 16/01/2025).
Indian Defence Review (16/01/2025) yang dikutip Sindo melaporkan bahwa setelah 15 tahun berlalu, Swedia berubah pikiran karena banyaknya kendala yang dihadapi dalam pembelajaran menggunakan buku digital. Membaca di layar menyebabkan ketegangan mata, kurang fokus, silau dengan cahaya terang dibandingkan dengan kertas buku. Juga menyulitkan memahami dan mengingat hasil bacaan karena kesulitan dan kelelahan mata menatap layar elektronik. Perangkat digital mengganggu konsentrasi, minat, semangat, dan pemahaman belajar siswa.
Akibatnya banyak siswa yang beralih bermain game, menelusuri web atau media sosial selama pembelajaran di kelas, karena sulitnya berkonsentrasi pada materi sekolah melalui layar kaca komputer. Hal ini membuat guru dan orang tua khawatir mengenai rentangnya siswa terpengaruh hal-hal di luar tujuan belajar, seperti berita-berita sosial di luar, kurangnya fokus dan penguasaan materi, serta dampak kesehatan yang bisa ditimbulkannya oleh teknologi itu. Waduh….
Untuk mengatasi hal tersebut pemerintah Swedia mengalokasikan 104 juta Euro (lebih Rp 1,7 triliun) mengembalikan buku-buku cetak kertas pada setiap mata pelajaran. Uang itu digunakan untuk kampanye dan penyediaan buku untuk beralih ke cara tradisional belajar: membaca buku cetak. Tentu bukan meninggalkan teknologi digital sama sekali, tetapi melakukan penyesuaian agar siswa belajar optimal dan sehat.
Itu Swedia. Bagaimana di Indonesia? Fenomena siswa atau mahasiswa kita kesulitan belajar karena pengaruh smartphone, media sosial, dan internet, sudah banyak ditemukan. Tentu butuh kebijakan pemerintah untuk penyediaan buku cetak bagi seluruh siswa dan peningkatan minat baca selain memenuhi program makan bergizi gratis yang dilaksanakan di sekolah saat ini.*