Gambar ”STRES KOLEKTIF: Tahun Berganti, Jiwa Terkuras.”


Tahun berganti, tetapi kelelahan batin seolah enggan pergi. Stres hari ini tidak lagi berdiri sebagai pengalaman personal, melainkan menjelma menjadi denyut bersama, merayap di rumah-rumah, kantor, ruang kelas, dan ruang ibadah. 


Banyak manusia hidup dalam tekanan yang melampaui kapasitas jiwanya, target demi target, tuntutan demi tuntutan, hingga batin dipaksa bekerja melebihi daya tampungnya. 


Kelelahan dinormalisasi, kegelisahan disembunyikan, dan jiwa diminta bertahan tanpa sempat dipulihkan.


Islam tidak memungkiri kenyataan ini. Ia hadir bukan untuk menambah beban, melainkan untuk menata ulang cara manusia memikulnya. 


Al-Qur’an dengan tegas mengoreksi anggapan bahwa hidup harus selalu kuat dan tanpa jeda. Allah berfirman:

لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا

“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”(QS. Al-Baqarah: 286).


Ayat ini adalah fondasi keadilan ilahi. Stres kolektif sering lahir bukan karena hidup terlalu berat, melainkan karena manusia atau sistem yang dibangunnya memikul beban di luar batas yang Allah tetapkan. 


Ketika beban melampaui wus‘ (kapasitas), yang runtuh bukan hanya fisik, tetapi juga ketenangan jiwa.


Namun Allah tidak berhenti pada penegasan batas. Dia juga menanamkan harapan yang pasti, bahwa setiap tekanan tidak pernah berdiri sendiri. 


Dalam Al-Qur’an, Allah mengulang satu pesan yang menenangkan:

فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا ۝ إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا

“Maka sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu benar-benar ada kemudahan.”

(QS. Al-Insyirah: 5–6).


Pengulangan ini adalah penegasan penuh kasih. Kesulitan bukanlah lorong buntu; ia selalu ditemani kemudahan, kadang berupa jalan keluar yang tampak, kadang berupa kekuatan bertahan yang tumbuh perlahan. 


Stres, dalam kacamata iman, bukan akhir perjalanan, melainkan fase pemurnian. Masalahnya, manusia sering salah membaca makna tekanan. 


Kita membenci stres karena terasa menyakitkan, dan mencintai kenyamanan karena menenangkan. Padahal Allah mengingatkan bahwa rasa suka dan benci tidak selalu sejalan dengan kebaikan hakiki. 


Allah SWT. di dalam Firman-Nya menegaskan:

وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ ۖ وَعَسَىٰ أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal itu baik bagimu. Dan boleh jadi kamu menyukai sesuatu, padahal itu buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 216).


Ayat ini mengajarkan kedewasaan spiritual dalam menghadapi stres kolektif. Tekanan yang kita benci bisa jadi adalah bentuk penjagaan Allah, alarm agar manusia berhenti dari kelalaian, mengevaluasi arah hidup, dan memperbaiki relasi dengan dirinya sendiri, sesama, dan Tuhannya.


Lebih dari itu, Allah menegaskan bahwa syariat dan jalan hidup yang Dia tetapkan bukan untuk memberatkan manusia. Justru sebaliknya, Allah bermaksud meringankan beban hamba-hamba-Nya, karena Dia Maha Mengetahui kelemahan manusia:


يُرِيدُ اللَّهُ أَنْ يُخَفِّفَ عَنْكُمْ ۚ وَخُلِقَ الْإِنْسَانُ ضَعِيفًا

“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia diciptakan dalam keadaan lemah.”

(QS. An-Nisā’: 28).


Ayat ini seperti sentuhan lembut di tengah kelelahan. Ia mengingatkan bahwa kelemahan bukanlah aib, melainkan fitrah. 


Stres kolektif sering kali muncul ketika manusia memaksakan diri melampaui fitrah tersebut, menuntut diri selalu kuat, selalu produktif, selalu sempurna, padahal Allah sendiri mengakui dan memaklumi kelemahan manusia.


Rasulullah SAW. menegaskan bahwa setiap kelelahan yang menimpa seorang mukmin tidaklah sia-sia:

مَا يُصِيبُ الْمُسْلِمَ مِنْ نَصَبٍ وَلَا وَصَبٍ وَلَا هَمٍّ وَلَا حُزْنٍ... إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ بِهَا مِنْ خَطَايَاهُ

“Tidaklah seorang Muslim tertimpa kelelahan, penyakit, kegelisahan, kesedihan, atau kesusahan, melainkan Allah menghapus sebagian dosa-dosanya dengan sebab itu.” HR. Al-Bukhari dan Muslim)


Hadits ini menggeser cara pandang kita terhadap stres, dari beban yang menakutkan menjadi proses penyucian jiwa. 


Inilah ishlah batin( pemulihan dari dalam),yang lahir dari kesabaran dan kejujuran membaca diri. Para sahabat memahami hakikat ini dengan sangat mendalam. Umar bin Khattab RA. berpesan:

حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا

“Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab.”


Muhasabah ini menjadi kunci menghadapi stres kolektif di penghujung tahun. Bukan hanya mengevaluasi capaian, tetapi menilai kondisi jiwa: apakah hidup semakin ringan karena dekat dengan Allah, atau justru semakin berat karena jauh dari-Nya.


Pada akhirnya, Al-Qur’an menutup seluruh kegelisahan itu dengan satu penawar yang sederhana namun mendalam:

أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.”

(QS. Ar-Ra‘d: 28).


Ketenteraman bukan berarti bebas dari masalah, melainkan kemampuan untuk memikul beban sesuai kadar yang Allah tetapkan. 


Tahun boleh berganti dengan segala lelahnya, tetapi iman menanamkan keyakinan, Allah tidak pernah bermaksud memberatkan hamba-Nya. 


Di balik stres kolektif, selalu ada jalan kelapangan, bagi mereka yang mau berhenti sejenak, membaca tanda-tanda-Nya, dan kembali menata hidup dengan kesadaran dan tawakkal.


#Wallahu A’lam Bish-Shawab