Dalam arus modernitas yang bergerak cepat, manusia menghadirkan bentuk interaksi sosial yang kian beragam.
Di antaranya adalah Standing Party, sebuah acara makan-minum sambil berdiri, berpindah, dan bercakap secara leluasa. Ia tampak praktis dan mengikuti ritme zaman. Namun dalam pandangan Islam, setiap bentuk perjumpaan sosial bukan sekadar persoalan gaya hidup, melainkan ruang pembuktian adab, akhlak, dan kesucian nilai.
Islam tidak menolak perubahan, ia hanya mengarahkan agar perubahan tetap berjalan dalam orbit kemuliaan. Karena itu, Standing Party tidak cukup dinilai dari bentuknya, tetapi harus ditakar dengan neraca syariat.
Apakah adab makan-minum terjaga, apakah kehormatan diri berlindung, apakah interaksi sosial tidak melampaui batas, dan apakah maqasid syar‘iyyah tetap menjadi fondasi.
Adab Makan-Minumm: Dari Riwayat Larangan hingga Penilaian Makruh
Riwayat hadis mengungkap bahwa Rasulullah SAW. melarang minum sambil berdiri:
نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَشْرَبَ الرَّجُلُ قَائِمًا
“Rasulullah melarang seseorang minum sambil berdiri.”
(HR. Muslim)
Namun terdapat pula riwayat bahwa Nabi SAW.pernah melakukannya:
رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَشْرَبُ قَائِمًا
“Aku melihat Rasulullah minum sambil berdiri.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Imam al-Nawawi menyelaraskan keduanya:
النَّهْيُ لِلتَّنْزِيهِ
“Larangan itu bermakna tanzīh (makruh),sedangkan praktik Nabi untuk menunjukkan kebolehan.”
Dengan dasar itu, aktivitas makan/minum sambil berdiri, termasuk dalam Standing Party ,adalah tidak haram, tetapi lebih baik ditinggalkan karena kurang sesuai dengan adab yang lebih sempurna.
Standing Party dan Potensi Ikhtilat yang Tidak Proporsional
Standing Party lazim melibatkan mobilitas tinggi, kerumunan, dan kedekatan ruang antara laki-laki dan perempuan. Syariat tidak menolak pertemuan sosial, tetapi menegaskan batas interaksi:
قُلْ لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ
“Katakanlah kepada laki-laki beriman untuk menundukkan pandangan.” (An-Nūr: 30)
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ
“Dan katakanlah kepada perempuan beriman untuk menundukkan pandangan.” (An-Nūr: 31)
Pandangan bebas, desak-desakan, atau kondisi yang membuka tabarruj dapat menjadikan Standing Party sebagai ruang yang kurang terjaga kehormatannya.
Karena itu, dari sudut adab, Standing Party lebih dekat kepada makruh, sebab meninggalkannya lebih selamat bagi kehormatan pandangan dan batas-batas interaksi.
Potensi Israf dan Tabdzir
Sering kali Standing Party hadir dalam kemasan mewah dan berlebihan. Syariat sangat menekankan larangan pemborosan:
إِنَّ الْمُبَذِّرِينَ كَانُوا إِخْوَانَ الشَّيَاطِينِ
“Para pemboros adalah saudara-saudara setan.” (Al-Isrā’: 27)
Imam al-Qurṭubī menyatakan:
كُلُّ مَنْ أَنْفَقَ فِي غَيْرِ وَجْهِ الْحَقِّ فَهُوَ مُبَذِّرٌ
“Siapa yang membelanjakan harta bukan pada tempatnya adalah pemboros.”
Jika Standing Party menjelma ajang glamor, pamer, atau berlebihan, maka ia mendekat kepada tercelanya israf, unsur yang semakin menguatkan posisi hukum makruhnya.
Kaidah ‘Urf dan Pertimbangan Adab
Fikih menerima tradisi (‘urf) selama tidak bertentangan dengan syariat:
الْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
“Tradisi dapat dijadikan pertimbangan hukum.”
Standing Party sebagai tradisi modern memang mubah pada dasarnya, namun karena ia mengandung unsur-unsur yang kurang sempurna dari sisi adab , terutama makan-minum sambil berdiri, kerawanan interaksi, dan peluang israf. Maka posisi hukumnya bergeser kepada makruh tanzih, yakni tidak berdosa bila dilakukan, tetapi afdhal untuk ditinggalkan demi menjaga kesempurnaan adab Islam.
Sikap Syariat dan Ketentuan Hukumnya
Setelah menimbang seluruh aspek , adab makan-minum, interaksi sosial, penjagaan kehormatan, moderasi hidangan, dan kaidah syariat, maka dapat disimpulkan bahwa, Standing Party bukan haram, karena terdapat riwayat kebolehannya. Namun ia mengandung unsur adab yang tidak ideal, sehingga: Hukum Standing Party adalah Makruh. ( Yang dilakukan tidak berdosa, tetapi meninggalkannya lebih utama dan berpahala)
Standing Party menjadi kurang terpuji bukan karena bentuknya semata, tetapi karena adab sempurna lebih terwujud ketika seseorang makan sambil duduk, tenang, tertata, dan jauh dari potensi ikhtilāṭ serta pemborosan.
Meninggalkan Standing Party berarti memilih jalan kemuliaan adab, sebuah pilihan yang terpuji, mendatangkan pahala, dan lebih sesuai dengan kehormatan syariat.
Kesimpulan
Berdasarkan keseluruhan analisis fikih, adab, dan pertimbangan ‘urf, Standing Party tidak termasuk dalam kategori haram, namun ia pun tidak mencapai derajat kebolehan yang utama.
Riwayat-riwayat hadis menunjukkan adanya larangan minum sambil berdiri, namun sifatnya bukan larangan tegas (taḥrim),melainkan larangan tingkat tanziih yang menunjukkan kemakruhan, sebagaimana penjelasan Imam al-Nawawi:
“Larangan itu menunjukkan makruh.”
Dengan demikian, aktivitas makan-minum sambil berdiri secara fiqhi berada pada wilayah makruh tanzihi, lebih utama ditinggalkan, namun tidak berdosa apabila dilakukan selama adab-adabnya tetap dijaga.
Standing Party juga mengandung sejumlah potensi pelanggaran adab syariat, kemungkinan ikhtilat tanpa pengawasan nilai, pandangan yang tidak terjaga, suasana yang memudahkan tabarruj, hingga kecenderungan israf dan pemborosan.
Potensi-potensi ini tidak menjadikan Standing Party haram pada zatnya, tetapi cukup kuat untuk menempatkannya dalam kategori makruh, terutama ketika tidak diatur dengan prinsip kehati-hatian.
Karena itu, hukum Standing Party dapat dirangkum sebagai berikut:
حُكْمُهُ مَكْرُوهٌ لِأَنَّهُ دَاخِلٌ فِي النَّهْيِ عَنِ الأَكْلِ وَالشُّرْبِ قَائِمًا عَلَى وَجْهِ التَّنْزِيهِ، وَلِكَثْرَةِ التَّبِعَاتِ الَّتِي تُنَاقِضُ مَقَاصِدَ الأَدَبِ الشَّرْعِيِّ.
“Status hukumnya adalah makruh, karena termasuk dalam larangan makan dan minum sambil berdiri pada tingkat tanziih, serta banyaknya konsekuensi yang bertentangan dengan maqasid adab syar‘i.”
Dengan demikian, Standing Party tetap berada dalam ruang kebolehan yang terbatas, tetapi lebih utama ditinggalkan demi kesempurnaan adab, penjagaan kehormatan diri, dan keselamatan dari berbagai mafsadat sosial yang mungkin timbul. Islam tidak melarang modernitas, tetapi menuntut agar setiap inovasi tetap teguh dalam kehalusan akhlak, kesederhanaan jiwa, dan keteduhan adab yang diwariskan oleh Nabi SAW.
#Wallahu A’lam Bishawab
Alat AksesVisi