Syaikhul-Islam Dr. “Abdul-Halim Mahmud menceritakan:
Tuanku Ahmad al-Dardiri: Sungguh seandainya Imam al-Dardiri tetap berada pada ilmu-ilmu kitab, ia tidak akan melebihi si ini atau si itu di masanya atau sebelumnya atau setelahnya yang telah ditelan oleh waktu namun tidak diabadikan oleh sejarah. Tetapi, dasar keabadian nama Syekh al-Dardiri adalah spitit yang telah ia sebarkan pada diri pengikut serta Muridnya dan yang masih ia sebarkan pada diri, para pengikut dan muridnya.
Itulah spirit sufi, perasaan kesufian, dan tarikat sufi yang telah telah ia perankan dan masih ia perankan sampai sekarang serta akan terus ja perankan selama langit dan bumi masih ada. Itulah spirit keikhlasan, spirit “Iyyaka nabudu wa iyyaka nasta'in (hanya kepada-Mu-lah kami menyembah dan hanya kepadaMu-lah kami meminta pertolongan)”, spirit rabbani.
Maulana Jalaluddin al-Rumi dahulu adalah seorang fakih besar dan syekh mulia. Ia memiliki banyak madrasah dan murid serta kedudukan tinggi dan banyak harta. Ia kemudian bertemu dengan seorang darwis sufi yang berkeliling, Syams al-Tabrizi. Jiwanya tertarik kepada sang pujangga dan masuk bersama sang pujangga dalam khalwat yang berlangsung selama beberapa bulan. Ia keluar dari khalwat sebagai manusia baru yang berbagai cahayanya dan hembusan spiritualnya masih menyinari dunia—timur dan baratnya—sampai hari kita ini.
Seandainya seseorang ingin mengumpulkan syekh syekh sufi yang telah mencapai level ilmu tertinggi sekaligus merupakan ulama pengamal ilmu, tentu itu membutuhkan berjilid-jilid buku. Dikutip dari kitab Min Ma'arif al-Sadah al Sufiyyah karya Syekh Muhammad Khalid Tsabit.