Tulisan ini tidak untuk memperdebatkan pergeseran tanggal hari libur nasional  maulid Nabi Besar Muhammad SAW yang  diperingati  setiap memasuki bulan  Rabi’ul awal, dengan Pertayaan kenapa mesti di geser geser  dan tidak juga menyoal bid’ah atau tidak pelaksanaan maulid karena secara sosiologis itu tidaklah penting diperdebatkan.
       Karena dalam perspektif sosiologi sebagai ilmu, hal tersebut bukanlah wilayah kajian sosiologi yang penting, tapi sosiologi sebagai  ilmu salah satu sifatnya adalah non etis artinya sosiologi sebagai ilmu tidak pernah mau ikut campur soal benar  atau salah seseorang dalam agama, dan tidak juga mau ikut campur menyoroti individu yang beragama apakah mau taat dengan agamanya  atau ingkar terhadap ajaran agamanya, pada semua manusia beragama, itu wilayah urusan individu dengan Tuhan yang dia yakini masing -masing.
        Tapi sosiologi kemudian ikut campur bila terjadi efek negatif pada praktek dan pelaksanaan ajaran keagamaan seseorang yang berdampak pada kehidupan sosial, atau ketika keimanan seseorang  bersentuhan dengan kepentingan komunal sehingga melahirkan perilaku tidak etis atau perilaku menyimpang secara sosial barulah ilmu sosiologi turun gelanggang .
        Esensi maulid Nabi mestinya dimaknai sebagai bagian ritual keagamaan yang sakral di peringati oleh umat muslim di seluruh belahan dunia manapun secara sakral.
       Tapi ritual Maulid Nabi dalam kemasan tradisi budaya dan alasan seni ber maulid telah mendegradasi makna esensi memeringati kelahiran nabi Muhammad SAW yang sakral yang mestinya di isi oleh kajian, pengajian pengajian, dan shalawatan, zikir secara individu dan komunal agar generasi muda dapat mewarisi kecintaan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW., kini banyak peringatan maulid mirip dengan peringatan tujuh belasan dalam rangka peringatan hari kemerdekaan.
        Di berbagai video yang viral  beredar di media sosial begitu banyak model dan bentuk peringatan maulid Nabi yang bersifat konsumtif, hura hura, meriah bagaikan arena perlombaan, bahkan acara maulid jadi arena lomba rebutan makanan dan rebutan telur, rebutan hadiah dan  saling sikut dan terkesan konsumtif.
        Secara sosiologis perbedaan bentuk dan model tradisi tentu banyak di pengaruh tradisi budaya tiap daerah  hal tersebut pastilah terjadi tapi eksistensi dan makna maulid mesti menjadi perhatian utama.
       Makna esensi  maulid selain menunjukan kecintaan dan ketauladan serta menjadikan Rasulullah sebagai panutan hidup tapi makna lebih esensi adalah introspeksi diri dalam mengimani Allah dan Rasulullah dan makna kesyukuran yang tinggi terhadap Islam sebagai agama yang diimani.
        Sehingga boleh saja berbeda bentuk dalam pelaksanaan maulid Nabi Muhammad SAW tapi jangan bergeser dari esensi maulid tersebut, agar pelaksanaan ritual dan nilai kesakralannya tetap terpelihara.wslm .