Gambar SIKAP MENGHADAPI SAKIT

SIKAP MENGHADAPI SAKIT

Suatu hari seorang ulama mengunjungi kawannya yang sedang sakit. Sesampainya di sana ia mendapati sang kawan tengah mengaduh dan mengeluh kesakitan. Sang ulama menghibur kawannya, “Bukanlah disebut pecinta sejati mereka yang tidak tahan menderita akibat pukulan Kekasihnya.” Tiba-tiba dari sudut ruangan terdengar suara, “Bukanlah disebut pecinta sejati yang tidak ‘menikmati’ pukulan Kekasihnya.”

Kisah di atas mengilustrasikan dengan baik dua perbedaan sikap yang dapat diambil ketika kita tertimpa musibah. Kisah di atas juga melukiskan hubungan antara kita dengan Allah yang diumpamakan dengan hubungan cinta dua kekasih.

Untuk ulama yang satu, rasa cinta akan mengikis semua derita. Dengan kata lain, “Jikalau Tuhan memberikan hamba racun pahit, hamba akan menerimanya sebagai madu yang terbaik.” Semua yang Allah berikan adalah indah dan menyenangkan. Ketika kita tertimpa musibah, itu hanyalah sebuah ekspresi cinta dari Allah yang sepatutnya diterima dengan rasa cinta pula. Untuk itu, mengeluh atau mengaduh kesakitan bukanlah sikap seorang pecinta sejati.

Ulama yang kedua bersikap lain lagi. Musibah yang menimpa kita memang merupakan ekspresi kasih sayang Allah, yang sepatutnya diterima juga dengan rasa cinta. Tetapi, alih-alih bersikap tidak terjadi sesuatu, ulama yang ini memilih untuk mengekspresikan cintanya dengan ‘menikmati’ racun pahit yang diberikan. Ia mengaduh, mengeluh seraya meneteskan air mata akan ‘pukulan’ sang Kekasih.

Tidak ada daya dan kekuatan kecuali karena izin-Nya. Untuk itu, ia tidak sanggup menahan ‘pukulan’ kekasih; ia tidak sanggup untuk bersabar menghadapi musibah; ia tidak sanggup untuk bersikap tenang. Ia ekspresikan seluruh cinta dengan menerima segala konsekuensi dari rasa cinta. Dengan adanya warna hitam, dia jadi tahu cemerlangnya warna putih; dengan menikmati rasa sakit, ia jadi tahu betapa indahnya kemudahan itu; dengan datangnya musibah ia jadi semakin tenggelam dalam lautan cinta ketika bermunajat memohon dilepaskan semua kesulitan dan deritanya.

Mana yang kita pilih ketika ditimpa musibah: tegar dan sabarkah kita, atau kita mengeluh dan mengaduh? Manapun sikap yang anda ambil, ingatlah hal di bawah ini:

Pertama, apapun sikap yang kita pilih, semuanya harus berlandaskan cinta pada ilahi. Kesabaran maupun kenikmatan terhadap musibah justru semakin memperbesar rasa cinta kita. Kedua, pasrah dan sekaligus berbaik sangka akan semua skenario Allah kepada kita dan terakhir, berdo’alah sebagaimana Rasul yang mulia mengajari putrinya, Fatimah al-Zahra, untuk berdo’a , “Ya Allah, janganlah Engkau tinggalkan diriku barang sekejap matapun dan perbaikilah semua urusanku.”

Tabik,
Nadirsyah Hosen