Gambar Seri-9. Haji. Tawaf V

Maqam Ibrahim: Jejak Kehidupan di Atas Batu Pengabdian

وَاِذْ جَعَلْنَا الْبَيْتَ مَثَابَةً لِّلنَّاسِ وَاَمْنًاۗ وَاتَّخِذُوْا مِنْ مَّقَامِ اِبْرٰهٖمَ مُصَلًّىۗ
"Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah itu (Ka'bah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman, dan jadikanlah maqam Ibrahim sebagai tempat shalat."
(QS. Al-Baqarah: 125)
   Maqam Ibrahim adalah batu yang membekas oleh kaki seorang kekasih Allah. Ia tidak hanya artefak sejarah, bukan pula sebatas arkeologis. Batu itu adalah warisan keabadian, saksi hidup atas jejak seorang hamba yang mengabdikan seluruh hidupnya untuk Tuhannya. Di atasnya tertinggal jejak yang tak lekang oleh waktu. Jejak itu, bukan ditinggalkan oleh tekanan tubuh, melainkan oleh beratnya pengabdian dan tulusnya cinta kepada Allah.
Di atas batu itu, Nabi Ibrahim as berdiri dalam keikhlasan yang sempurna. Ia tidak berdiri untuk menunjukkan kejayaan, tapi untuk menyempurnakan perintah Rabb-nya. Ia membangun Ka‘bah bukan untuk dikenang, tetapi untuk menaati perintah Allah yang Mahatinggi. Namun justru karena keikhlasan itulah, Allah abadikan jejaknya. Batu itu dijaga, dipandang, dan menjadi bagian dari syi‘ar Islam yang disaksikan oleh jutaan jiwa dari zaman ke zaman. 
   Tidak setiap langkah manusia di dunia ini meninggalkan makna. Banyak kaki menapaki bumi, tapi hanya sedikit yang benar-benar menggoreskan jejak dan cahaya di atasnya. Banyak yang berjalan, berlari, berjuang, tapi arah dan tujuannya bukan kepada Allah. Maka langkah-langkah itu akan lenyap ditelan waktu, tak berbekas, tak menyisakan hikmah bagi generasi sesudahnya.
Ada jejak kaki yang hanya menyentuh permukaan tanah, namun tak menembus ke dalam jiwa manusia. Langkah-langkah yang sibuk memburu dunia, memuaskan ego, mengejar nama dan kuasa, namun tak menyisakan makna kala waktu telah usai. Setelah kematiannya, dunia pun seolah lupa ia pernah ada. Tidak ada ilmu yang mengalir, tidak ada amal yang bercahaya, tidak ada doa yang menyertainya.
   Di sinilah maqām Ibrāhīm berbicara dalam diamnya. Ia mengajarkan kita untuk bertanya dengan sungguh-sungguh: Jejak kaki seperti apa yang sedang aku tinggalkan di dunia ini? Apakah hidupku sedang membangun sesuatu yang dicintai Allah, ataukah aku hanya sedang menyusun bangunan dari keinginan-keinginan egoku yang fana dan rapuh? Apakah langkah-langkahku di dunia akan menjadi warisan ruhani yang dikenang langit dan dirindukan bumi? Apakah aku akan dikenal di sisi Allah, sebagaimana Ibrahim dikenal sebagai Khalilullah, kekasih yang seluruh hidupnya ditakar dalam satuan cinta dan pengabdian?
   Batu Maqam Ibrahim mengajarkan bahwa bukan posisi dunia yang membuat jejak kita dikenang, tetapi nilai pengabdian yang terkandung dalam setiap langkah. Nabi Ibrahim tidak mencari kemuliaan dunia, namun justru karena itu, Allah muliakan namanya di langit dan bumi. Allah berfirman:
"Dan Kami abadikan untuk Ibrahim (pujian) di kalangan orang-orang yang datang kemudian: 'Salam sejahtera bagi Ibrahim.’"
(QS. As-Saffāt: 108–109)
   Ayat ini bukan hanya pujian, tapi janji. Bahwa siapa pun yang berjalan dalam keikhlasan sebagaimana Ibrahim berjalan, maka Allah akan menjaga langkahnya, menanamkan namanya dalam kebaikan, dan membekukan jejaknya dalam keberkahan.
   Maka siapa pun kita, seorang guru di kelas kecil, seorang ibu rumah tangga yang menyuapi anak dengan cinta, seorang buruh yang bekerja jujur, seorang karyawan yang bekerja dengan Amanah, seorang penuntut ilmu yang bersungguh hati, atau apapun pekerjaan dan aktivitas —semua bisa meninggalkan jejak seperti itu. Bukan dengan menjadi besar di mata manusia, tetapi dengan menjadi ikhlas dan jujur di hadapan Allah. Langkah kecil yang ditempuh dengan niat suci, nilainya mampu melampaui langkah besar yang penuh riya dan pamrih.
 Ketika kita memandang maqam Ibrahim, sejatinya kita tidak hanya sedang menatap batu. Kita sedang diajak untuk bercermin pada hidup kita sendiri. Batu itu menjadi cermin batin, yang memantulkan tanya: "Adakah kaki ini berdiri di atas kebenaran? Ataukah sedang menyusuri jalan yang tak tentu arah?"
   Di hadapan Maqam Ibrahim, biarkan hati melepaskan segala kerumitan dunia, sejenak berdiri dalam keheningan yang hanya bisa dipahami oleh jiwa yang mencari. Maqam Ibrahim bukan semata tempat berdiri, tetapi sebuah cermin ruhani yang memantulkan apa yang tersembunyi dalam diri. Di bawah bayang-bayang jejak kaki yang telah lama mengeras, kita dipanggil untuk menanyakan pada diri: "Apakah setiap langkahku terasa ringan oleh cinta kepada-Nya, ataukah aku terjebak dalam keramaian dunia yang melenakan?" Inilah kesempatan untuk mengosongkan hati dari selain-Nya, dan mengisi setiap tapak dengan niat yang bersih, agar setiap amal, sekecil apapun, dapat terangkat sebagai ibadah yang tulus, seperti jejak yang abadi dalam keheningan waktu.
   Dan saat kita salat dua rakaat di belakang maqam itu—sunah yang diajarkan Rasulullah saw., kita sejatinya sedang bersaksi di hadapan Allah, sedang menyampaikan harapan dan doa terdalam: “Ya Rabbi, tuntun aku dan langkahku mengikuti jejak kekasih-Mu. Jejak hidupku ingin menuju pada-Mu, sebagaimana jejak Nabi-Mu menuju rumah-Mu. Jadikan hidupku berarti, bukan hanya bagiku, tetapi bagi dunia yang akan aku tinggalkan.
Jadikan tapak kakiku sebagai saksi bahwa aku pernah berjuang untuk-Mu, walau dengan langkah yang tertatih dan amal yang sedikit.”
   Inilah maqām Ibrāhīm—batu yang menyimpan lebih dari sekadar jejak, tetapi menghidupkan kesadaran, menggugah ruh untuk mengisi hidup ini dengan arti. Dan siapa pun yang bersujud di hadapannya dengan hati yang jujur, niscaya akan pulang membawa satu tekad: bahwa hidup ini terlalu berharga jika tidak menorehkan jejak maqam yang diarahkan menuju Allah. (Mamasa, Sajojo).