Gambar Seri-8. Haji Tawaf IV . Tawaf ke Kiri. Mengganti Orbit “AKU”


Ada pertanyaan sederhana. Namun seperti banyak pertanyaan sederhana dalam hidup, jawabannya justru membuka lapisan-lapisan yang dalam dari sekadar logika. Pertanyaan kenapa tawaf berputar ke kiri, sesungguhnya bukan sedang mencari arah, tapi ia ingin menunjuk ke dalam. Ke pusat. Ke ruang sunyi di balik dada. Kenapa kita menangis, kenapa kita rindu, kenapa kita takut kehilangan? Ini contoh dari pertanyaan sederhana lain, yang saat mulai dipikirkan, ia akan melahirkan ketukan kepada jiwa untuk menyelam lebih dalam lagi. 
Mengapa harus ke kiri? Begitu pertanyaan terkait putaran tawaf yang menempatkan posisi ka’bah berada di sebelah kiri, orang yang melakukan tawaf. Gerakan ini tidak pernah berubah sejak ribuan tahun lalu. Tak seorang pun diberi ruang untuk memilih arah lain. Arah itu sudah ditetapkan oleh sesuatu yang lebih besar dari kehendak manusia. 
"Dan (ingatlah), ketika Kami menjadikan rumah (Ka’bah) tempat berkumpul bagi manusia dan tempat yang aman. Dan jadikanlah sebagian maqam Ibrahim tempat salat. Dan telah Kami perintahkan kepada Ibrahim dan Ismail: 'Bersihkanlah rumah-Ku untuk orang-orang yang tawaf, yang i’tikaf, yang rukuk dan sujud.'(QS. Al-Baqarah: 125)
Di Alam mayapada ini, pada ruang-ruang tak terlihat, yang bergerak teratur di setiap langkah kita, ternyata seluruh semesta juga bergerak ke kiri. Bumi memutar dirinya ke kiri. Planet-planet dalam tata surya kita mengelilingi matahari ke kiri. Galaksi berpijar dalam pusaran spiral ke kiri. Bahkan partikel-partikel kecil seperti elektron mengitari inti atom dengan arah yang sama: ke kiri.
Gerak ke kiri ini, tentu bukan karena kebetulan. Bukan hanya Gerak keteraturan fisika. Tapi ada harmoni di sana, dan ketika tubuh ikut berputar mengelilingi Ka’bah ke kiri, ada perasaan bahwa kita sedang menjadi bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar dari diri sendiri. Seperti loncatan dari titik kecil menuju orbit semesta. Seperti tubuh sedang dilatih untuk tunduk pada irama yang telah lebih dulu ditetapkan oleh langit.
Arah ke kiri juga membuat jantung—yang berada di sisi kiri dada—selalu berada lebih dekat ke Ka’bah.  "Sesungguhnya dalam tubuh ada segumpal daging; apabila ia baik, maka baiklah seluruh tubuh; dan apabila ia rusak, maka rusaklah seluruh tubuh. Ketahuilah, segumpal daging itu adalah qalb (hati)."(HR. Bukhari dan Muslim). Posisi itu seperti membuat setiap detak jantung ikut menghadap ke pusat, ke poros, ke rumah yang menjadi simbol kiblat dan asal mula. 
Berputar ke kiri berarti memutari sesuatu dari sisi yang tidak biasa. Dalam hidup, kita cenderung menggunakan tangan kanan, mendahulukan arah kanan, dan merasa nyaman dengan rutinitas yang selalu "ke kanan." Tapi di sini, semuanya dibalik. Kita diminta keluar dari kebiasaan, dari arah nyaman, dari pola yang kita kenal. Kita diminta berjalan searah semesta, bukan searah diri dan ego masing-masing. Tubuh dan pikiran yang terbiasa diposisikan menjadi pusat, sekarang, di saat tawaf harus mengelilingi sesuatu yang lain, dan menjadikannya sebagai orbit. Mengganti orbit diri yang selama ini selalu melahirkan keangkuhan. Rumi, berujar, “Berputarlah seperti semesta. Maka engkau akan lenyap dari dirimu, dan menyatu dengan pusat segalanya.” Di saat itu momen orbit ego perlahan-lahan dilepaskan.
Tawaf ke kiri, melatih jiwa untuk mengganti orbit. Selama ini, ego kita menjadi pusat. Kita memposisikan diri sebagai pusat orbit. Kini, pada saat tawaf, kita berlatih dan menyatakan. “Bukan aku pusatnya”, Bukan aku Porosnya”. Jadi tawaf adalah pelatihan jiwa untuk mengganti orbit.   
Di antara ribuan tubuh yang bergerak ke kiri itu, tak ada yang menonjol. Tak ada yang paling depan, tak ada yang jadi pusat perhatian. Semua bergerak bersama. Dalam irama yang sama. Seolah dunia sedang menunjukkan bahwa inilah cara untuk tidak hilang: menjadi bagian dari putaran yang menyatu. Bukan menonjol, tapi melebur. Bukan memimpin, tapi mengikuti. Bukan menjadi pusat, tapi mengelilingi pusat.
Mungkin itulah kenapa tawaf ke kiri. Bukan untuk mencari jawaban, tapi untuk dilibatkan dalam pertanyaan besar tentang arah. Arah mana yang mengantarkan kita pulang. Arah mana yang membuat hati kembali hidup. Arah mana yang tidak lagi bergantung pada diri, tapi pada Dia. "Katakanlah: Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam." (QS. Al-An’am: 162). Dan di antara detak jantung, derap langkah, serta desir doa yang lirih, tubuh pun menyadari: “Aku sedang kembali. Sedikit demi sedikit. Putaran demi putaran.” (Mamasa, Sajojo).