Tujuh kali Putaran Tawaf: Jalan Jiwa Menuju Allah Secara syar‘i, jumlah tujuh dalam tawaf adalah bagian dari ajaran yang tauqīfī — sebuah ketetapan yang datang dari Rasulullah ﷺ dan tidak bisa diubah oleh akal atau logika manusia. Sebagaimana shalat subuh ditentukan dua rakaat dan bukan tiga, maka tawaf pun tujuh putaran, bukan enam atau delapan. Namun, sebagaimana para arif selalu memandang sesuatu tidak hanya pada kulitnya, mereka membaca angka tujuh itu sebagai simbol. Sebab dalam dunia ruhani, setiap gerakan lahir menyimpan makna batin; dan setiap bentuk zahir membawa cahaya dari hakikat. Dalam khazanah ilmu hikmah dan tasawuf, angka tujuh seringkali dilambangkan sebagai kesempurnaan perjalanan spiritual manusia. Hal itu ditarik dari uraian dan untaian ayat-ayat alquran yang menyebut angka ini dalam konteks penciptaan dan kesempurnaan kosmik. Allah menciptakan langit sebanyak tujuh lapis, dan bumi juga disebut memiliki tujuh lapisan. Dalam surat Al-Fātiḥah — ummul Kitāb — terdapat tujuh ayat sebagai inti petunjuk hidup. Bahkan dalam tubuh manusia, ada tujuh lubang di wajah (dua mata, dua telinga, dua lubang hidung, dan mulut), sebagai saluran pengenalan terhadap dunia luar. Para sufi melihat bahwa tujuh putaran tawaf adalah lambang perjalanan ruhani manusia dalam mendekati Allah. Tawaf bukan hanya gerak memutari bangunan suci semata, tetapi simbol dari orbit kehidupan: bahwa segala sesuatu harus kembali kepada titik asalnya — yaitu Allah. Dan dalam perjalanan itu, jiwa manusia harus menempuh tujuh lapis penyucian. Di sinilah bertemu pemahaman tentang tujuh tingkatan nafsu --sebagaimana banyak disebut oleh para ulama seperti Imam al-Ghazālī, Abū Ṭālib al-Makkī, dan Syekh Abdul Qādir al-Jailānī—dengan tujuh kali putaran tawaf. Ketujuh tingkatan nafsu itu adalah: 1. An-Nafs al-Ammārah (jiwa yang menyuruh pada kejahatan). Ini adalah nafsu yang masih liar dan dikuasai oleh syahwat. Ia mengajak kepada keburukan dan menolak ketaatan. Ia jauh dari cahaya. 2. An-Nafs al-Lawwāmah (jiwa yang suka mencela diri). Jiwa mulai sadar atas dosanya, dan muncul penyesalan. Ini adalah tahap awal pertobatan. 3. An-Nafs al-Mulhimah (jiwa yang diilhami). Jiwa menerima ilham baik dan buruk. Ia mulai mampu membedakan antara jalan yang lurus dan yang menyimpang. 4. An-Nafs al-Muṭma’innah (jiwa yang tenang). Jiwa telah stabil dalam kebaikan. Tidak lagi tergoda oleh dunia atau terombang-ambing oleh hawa nafsu. 5. An-Nafs ar-Rāḍiyah (jiwa yang ridha). Jiwa yang tidak lagi protes terhadap takdir. Ia menerima semuanya dengan kerelaan dan cinta. 6. An-Nafs al-Marḍiyyah (jiwa yang diridhai). Jiwa yang tidak hanya ridha, tetapi juga diridhai oleh Allah. Ia menjadi kekasih-Nya. 7. An-Nafs al-Kāmilah (jiwa yang sempurna). Ini adalah maqām para wali dan nabi. Jiwa ini telah fana dalam kehendak Allah, hidupnya hanya untuk-Nya, dan melalui dirinya Allah menunjukkan jalan kepada makhluk-Nya. Tujuh kali berputar mengelilingi ka’bah adalah tujuh kali mengikis diri dari kegelapan nafsu. Tujuh kali menyebut cinta, tujuh kali mengakui kehinaan diri, tujuh kali berjanji untuk setia dalam orbit Ilahi. Maka, ketika seorang hamba bertawaf tujuh kali, sejatinya ia sedang menempuh perjalanan jiwa dari kegelapan menuju Cahaya. Dari ego menuju kerendahan hati. Dari cinta dunia yang berlebihan, menjadi cinta sejati kepada Allah. Setiap langkah dari tujuh kali mengelilingi ka’bah adalah Latihan untuk mengorbitkan hidup kita hanya kepada satu pusat. Namun, satu kali tawaf secara fisik, tentu saja belum dapat membuat seseorang langsung sampai pada pencapaian tertinggi dari nafsu-nafsu itu. Ini bukan jalan pintas, tetapi peta petunjuk. Mirip dengan orang yang membaca peta gunung, ia tahu arah puncaknya, tetapi masih harus mendaki langkah demi langkah menuju puncak. Tawaf adalah titik awal transformasi jiwa, menjadi momen pembuka jalan. Karena itu ketika putaran ketujuh selesai, itu bukan akhir dari perjalanan, tapi awal dari kehidupan baru — kehidupan sebagai hamba yang sadar bahwa seluruh eksistensinya hanya bermakna jika berporos pada Allah. Tawaf mengajarkan kita untuk tidak keluar dari orbit-Nya, agar jangan sampai tersesat oleh tarikan dunia, atau terpental oleh daya tarik ego yang menipu. Tujuh kali tawaf adalah simbol dari penyucian bertingkat, dari gelapnya jiwa kepada cahayanya kedekatan. Ia adalah pelajaran tentang kesetiaan pada poros ilahi, dan latihan untuk tidak pernah berpaling dari pusat kehidupan sejati: Allah ﷻ. Maka, bertawaflah dengan tubuh, dengan hati, dan dengan seluruh jiwa. Sebab siapa yang sungguh-sungguh mengelilingi Ka’bah dengan cinta, akan mendapati bahwa ia tengah mengelilingi rahasia Allah yang tersembunyi dalam dirinya sendiri. (Tamangapa; Grand Aroeppala)