HAJAR ASWAD, PRASASTI RUHANI
نَزَلَ الْحَجَرُ الْأَسْوَدُ مِنَ الْجَنَّةِ، وَهُوَ أَشَدُّ بَيَاضًا مِنَ اللَّبَنِ، فَسَوَّدَتْهُ خَطَايَا بَنِي آدَمَ Hajar Aswad turun dari surga, dan ia dahulu lebih putih dari susu, lalu ia menjadi hitam karena dosa-dosa anak cucu Adam. (al-Tirmiżī, al-Ḥākim, Aḥmad, Ibn Mājah) إِنَّ هَذَا الْحَجَرَ يَأْتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ، وَلَهُ عَيْنَانِ يُبْصِرُ بِهِمَا، وَلِسَانٌ يَنْطِقُ بِهِ، يَشْهَدُ عَلَى مَنْ اسْتَلَمَهُ بِحَقٍّ. "Hajar Aswad akan didatangkan pada hari kiamat, ia mempunyai dua mata dan lisan yang dengannya ia akan bersaksi atas orang yang menyentuhnya dengan benar." (HR. al-Tirmidzi, Ibn Majah, Ahmad) Kedua hadis tentang Hajar aswad ini dinilai berada dalam derajat hadis Sahih. Dua hadis ini dijadikan sebagai landasan utama dalam membangun pemahaman yang lebih dalam terhadap hikmah tawaf. Hajar Aswad. Batu hitam yang berada di salah satu sudut Ka'bah ini bukan hanya penanda teknis dalam ibadah haji dan umrah. Ia adalah simbol. Sebuah pengingat yang penuh makna. Di hadapannya, jutaan orang melambai, menyentuh, bahkan mencium, seolah sedang menyapa sesuatu yang sangat dalam — sesuatu yang pernah terjadi jauh sebelum kita lahir ke dunia ini. Al-Qur’an mengisahkan dalam Surah al-A‘raf ayat 172:
“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka, seraya berfirman: ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu?’ Mereka menjawab: ‘Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.’ SYAHIDNAA
Ayat ini dikenal sebagai mithaq, perjanjian awal antara Allah dan ruh manusia. Bukan di dunia perjanjian ini terjadi, tapi di alam arwah — tempat sebelum kehidupan ini dimulai. Di sana, sebelum kita mengenal nama, orang tua, atau pencapaian apa pun di dunia ini, sebelum kita punya cita-cita, gelar, jabatan atau mimpi duniawi, kita telah punya satu identitas paling awal: Hamba Allah. Itu adalah janji yang telah diikrarkan oleh setiap manusia yang lahir dan hidup dunia ini. Ruh kita pernah berdiri di hadapan Allah dan bersaksi bahwa Engkau adalah Tuhanku. Para ulama dan sufi menjelaskan bahwa Hajar Aswad adalah simbol dari janji tersebut. Ia adalah batu dari surga, yang diturunkan ke bumi dan kini menjadi titik permulaan dalam tawaf. Maka, Hajar Aswad bukan sekadar batu — ia adalah saksi dari ikrar kita. Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din lebih kurang menyebutkan: “Sesungguhnya Hajar Aswad adalah perjanjian Allah di bumi. Setiap kali seorang hamba menyentuh atau menciumnya, maka itu mengingatkannya pada janji Allah yang telah diambil atas ruh-ruh.” Setiap kali seorang hamba memulai tawaf dari Hajar Aswad, ia tidak hanya sedang memulai ibadah fisik. Ia sedang memulai perjalanan batin. Ia sedang kembali ke titik awal. Kembali ke tempat di mana ruhnya pernah berkata, “Benar, Engkau Tuhanku.” Dalam gerakan melingkar tawaf itu, ada aliran kerinduan untuk pulang — pulang ke Allah, pulang ke fitrah. Hajar Aswad, dalam pandangan ini, adalah simpul antara langit dan bumi. Ia menjadi jembatan antara ruh manusia dan asal penciptaannya. Maka, bukan kebetulan bahwa tawaf dimulai dari batu ini. Karena ibadah sejati selalu dimulai dari kesadaran akan siapa kita, dari mana kita berasal, dan kepada siapa kita akan kembali. Rumi, penyair besar sufi mengatakan bahwa, tawaf bukan hanya gerakan tubuh, tapi perjalanan hati menuju sumber cahaya. Bagi Rumi, Hajar Aswad adalah titik pertemuan jiwa dengan Tuhan. Dan setiap putaran tawaf adalah perjalanan kembali ke titik itu, demi mengingat dan memperbaharui janji cinta yang dulu pernah diucapkan di alam arwah. “Ya Allah, aku kembali. Aku ingat janji itu. Aku ingin dekat dengan-Mu kembali.” Saat tangan kita terulur ke arah Hajar Aswad — menyentuhnya atau sekadar melambaikan tangan —Itu adalah sapaan batin, seperti seseorang yang lama terpisah akhirnya bertemu kembali dengan kekasih yang dirindukan. Dalam momen itu, kita menyentuh kembali naskah janji spiritual kita. Tangisan yang keluar di hadapan Ka'bah bukan hanya karena kagum pada kemegahannya. Tapi karena hati kita mengenali sesuatu. Kita tahu, secara batin, bahwa di sinilah kita pernah berikrar. Dan sekarang, kita kembali. Dengan segala dosa, kelalaian, dan keterbatasan, kita kembali memohon: “Ya Allah, aku bersaksi lagi. Engkau Tuhanku, dan aku hamba-Mu.” Hajar Aswad menjadi saksi dari semua itu. Ia menyimpan memori pertemuan pertama antara ruh dan Tuhan. Dan kini, di tengah lautan manusia yang bertawaf, ia tetap berdiri — seolah berkata: “Mari, ingatlah kembali siapa dirimu. Mari, pulanglah.” Setiap perjalanan hidup sejatinya adalah perjalanan kembali. Maka jangan heran jika hati kita tergetar saat berdiri di hadapan Ka'bah. Karena yang bergetar bukan hanya tubuh, tetapi ruh yang mengingat. Ia mengenali tempat itu. Ia mengenali janji itu. Hajar Aswad adalah tanda cinta. Tanda bahwa Tuhan tidak membiarkan kita lupa. Ia tinggalkan sebuah jejak di dunia ini — agar kita bisa mengingat, kembali, dan memperbaharui. Dan semoga, setiap kali kita melihat Hajar Aswad, hati kita berbisik: “Benar ya Allah, Engkau Tuhanku. Dan aku akan terus bersaksi, sampai aku kembali kepada-Mu.”