Gambar Seri-5. Haji. TAWAF I

Tawaf adalah salah satu rukun utama dalam ibadah haji dan umrah. Tawaf dilakukan dengan cara mengelilingi Ka'bah sebanyak tujuh kali putaran, dimulai dari arah Hajar Aswad dan diakhiri di titik yang sama. Saat bertawaf, posisi Ka'bah harus selalu berada di sisi kiri orang yang melakukannya, artinya arah putarannya berlawanan dengan arah jarum jam. Agar tawaf sah, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi. Orang yang bertawaf harus dalam keadaan suci dari hadas dan najis, menutup aurat, dan mengelilingi Ka'bah dari dalam area Masjidil Haram, bukan dari luar. Seluruh putaran tawaf juga harus dilakukan secara berurutan dan tanpa jeda yang lama, kecuali jika ada uzur syar’i.
<>Ka'bah adalah pusat arah dan simbol dari tujuan sejati dalam hidup—yaitu Allah.</> Maka setiap langkah dalam tawaf bukan sekadar gerak kaki, tapi juga gerak hati menuju Sang Pencipta. Hidup manusia, pada dasarnya, adalah perjalanan yang terus berputar, penuh ujian dan perubahan, namun tetap harus senantiasa kembali dan mengarah kepada-Nya. Dalam ibadah tawaf, kita mengelilingi Ka'bah sebanyak tujuh putaran, dimulai dari Hajar Aswad, dengan arah berlawanan jarum jam—sebuah gerakan yang menjadikan Ka'bah selalu di sisi kiri, dekat dengan jantung, seakan menegaskan bahwa cinta kepada Allah harus menjadi pusat dari setiap detak kehidupan. Setelah selesai tujuh putaran, tawaf ditutup dengan shalat sunnah dua rakaat di belakang Maqam Ibrahim, sebagai tanda kesempurnaan ibadah dan kerendahan hati di hadapan jejak para nabi.
Bagi banyak orang, tawaf adalah saat di mana jiwa benar-benar tersentuh. Di tengah lautan manusia yang mengelilingi Ka'bah, sering kali air mata mengalir begitu saja—bukan karena sedih, bukan pula karena lemah, tapi karena hati merasa sangat dekat dengan Tuhan yang Maha Pengasih. Itulah momen ketika segala topeng runtuh. Kita bukan lagi siapa-siapa: bukan jabatan, bukan status, bukan nama. Kita hanyalah hamba, yang kembali pulang, membawa beban, membawa harap, dan membawa rindu kepada Sang Pencipta. Air mata yang tumpah saat tawaf bukan kelemahan, melainkan kekuatan hati yang jujur mengakui betapa kecilnya diri di hadapan kebesaran Allah. Kadang kita menyebutnya “emosi”, tetapi sesungguhnya, itu adalah pantulan dari getaran ruhani yang menyala—getaran yang jarang ditemukan di tempat lain selain di hadapan Ka’bah. Tawaf adalah zikir dalam bentuk langkah, dan air mata yang mengiringinya adalah dzikir dalam bentuk rasa.
Tawaf membuka pintu hati kita, mengundang kita untuk merasakan rahmat-Nya yang tak terhingga. Tawaf adalah momen perjalanan menuju kedamaian jiwa, yang hanya dapat dirasakan ketika kita benar-benar merasa dekat dengan Tuhan. Dalam setiap putaran tawaf, biarkan tubuh kita berputar, dan hadirkan pula jiwa mengiringi fisik dengan kesadaran penuh yang murni. Tawaf adalah sebuah perjalanan batin yang mengajak kita untuk merasakan kedekatan dengan Sang Pencipta di setiap detik langkah kita. Saat melaksanakan tawaf, tinggalkan segala beban duniawi, lepaskan ego, dan tanggalkan segala keinginan yang menghalangi fokus sejati: yaitu Allah. 
Tawaf bukan sekadar bagian dari serangkaian ritual haji dan umrah. Ia adalah simbol kehidupan manusia yang terus bergerak, terus mencari, dan terus kembali. Setiap putaran bukan hanya mengelilingi bangunan Ka’bah, tetapi mengitari poros maknawi yang menjadi pusat seluruh semesta: Allah yang Maha Esa.
Garis kehidupan seorang manusia tak pernah lurus. Ia berputar, berliku, dan terkadang mengulang, namun semuanya menuju satu titik: kedekatan dengan Tuhan. Gerakan ini mengajarkan bahwa walau dunia membawa kita pada putaran yang melelahkan, kita tidak pernah benar-benar jauh dari pusat ketenangan itu—selama arah langkah kita tetap menuju kepada-Nya.
Di tengah ribuan, bahkan jutaan manusia yang sama-sama bertawaf, tidak ada yang lebih tinggi, tidak ada yang lebih mulia. Semua hamba berdiri sejajar. Tawaf meruntuhkan tembok perbedaan. Ia menanggalkan nama belakang, gelar dunia, dan bahkan wajah. Yang tersisa hanyalah hati yang menanti disentuh oleh cahaya-Nya. Betapa jarangnya kita merasa benar-benar hadir, dan betapa jarangnya kita merasa sepenuhnya dicintai.
Tawaf menghidupkan kembali percakapan yang lama terlupakan antara ruh dan Rabb-nya. Sebuah bisikan lama yang mungkin pernah kita dengar di awal penciptaan, kini kembali menggema dalam detak langkah di sekitar rumah suci-Nya. Ia bukan ritual semata, tapi pengakuan yang khusyuk: bahwa aku, sebagai manusia, tidak pernah cukup tanpa Allah. Dan ketika tujuh putaran itu selesai, kita berhenti. Namun hati tidak. Ia masih terus berdzikir. Dan pada rakaat shalat yang menyusul di belakang Maqam Ibrahim, kita tidak sekadar berdiri. Kita berdiri sebagai seseorang yang telah kembali dari sebuah perjalanan batin yang tak terlukiskan. (Tamangapa, Grand Aroeppala).