Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Baqarah 198:
ٱلۡحَجُّ أَشۡهُرࣱ مَّعۡلُومَـٰتࣱۚ …
(Musim) haji itu (berlangsung pada) bulan-bulan yang telah dimaklumi.
Bulan-bulan yang dimaklumi, menurut Ibnu ‘Umar, para sahabat dan tabi’in adalah bulan Syawal, Zulqa’dah dan 10 hari awal bulan Zulhijjah. Ketiga bulan ini, dalam istilah fikih disebut dengan Miqat Zamani, yaitu waktu dibolehkannya memulai prosesi ibadah haji.
Selain miqat zamani, dikenal pula miqat makani, yaitu tempat yang telah ditentukan untuk melaksanakan ibadah haji. Seperti wukuf, dilaksanakan di Padang Arafah. Tawaf dilaksanakan di seputaran Ka’bah.
Adapun miqat makani, yang bermakna tempat yang telah ditentukan untuk mulai melaksanakan ibadah haji, didasarkan pada hadis Nabi SAW:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ:
إِنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَّتَ لِأَهْلِ الْمَدِينَةِ ذَا الْحُلَيْفَةِ، وَلِأَهْلِ الشَّامِ الْجُحْفَةَ، وَلِأَهْلِ نَجْدٍ قَرْنَ الْمَنَازِلِ، وَلِأَهْلِ الْيَمَنِ يَلَمْلَمَ، هُنَّ لَهُنَّ، وَلِمَنْ أَتَى عَلَيْهِنَّ مِنْ غَيْرِ أَهْلِهِنَّ مِمَّنْ أَرَادَ الْحَجَّ وَالْعُمْرَةَ، وَمَنْ كَانَ دُونَ ذَلِكَ فَمِنْ حَيْثُ أَنْشَأَ، حَتَّى أَهْلُ مَكَّةَ مِنْ مَكَّةَ. رواه البخاري ومسلم
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
"Sesungguhnya Rasulullah ﷺ telah menentukan (miqat): untuk penduduk Madinah di Dzul Hulaifah, untuk penduduk Syam di Juhfah, untuk penduduk Najd di Qarn al-Manazil, dan untuk penduduk Yaman di Yalamlam. Miqat-miqat itu adalah untuk mereka masing-masing, dan juga untuk siapa pun yang melewatinya dari selain penduduk asalnya—siapa saja yang hendak menunaikan haji atau umrah. Dan siapa pun yang berada dalam wilayah yang lebih dekat dari miqat itu (kepada Mekah), maka ia berihram dari tempat ia memulai perjalanannya, bahkan penduduk Mekah (ihramnya) dari Mekah." (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Setiap orang yang hendak menunaikan haji atau umrah, wajib melewati satu titik suci yang disebut miqat. Di sanalah perjalanan mulia dimulai—tempat di mana pakaian duniawi ditanggalkan, dan pakaian ihram dikenakan, sebagai simbol kerendahan diri di hadapan Tuhan. Di sana pula niat dilafazkan, bukan hanya dengan lisan, tetapi dengan hati yang mulai menggugurkan keterikatan pada yang fana.
Miqat bukan sekadar tempat. Ia adalah gerbang kesadaran, sebuah batas antara dua alam: dunia yang gemerlap namun sementara, dan jalan menuju keabadian yang tenang dalam dekapan Ilahi. Di miqat, jalan pulang terbuka. Dan barang siapa yang datang dengan kesadaran akan kehambaannya—dengan hati yang tunduk, maka pintu itu akan terbuka, seluas-luasnya. Bukan hanya menuju Ka'bah di Tanah Haram, tetapi menuju Ka'bah hati: tempat di mana cinta kepada Allah mengalir, menuntun langkah mereka yang rindu pulang.
"Benarkah langkahku ini menuju kepada-Mu, ya Allah? Sudahkah hatiku benar-benar bersiap menerima panggilan-Mu?" Berbisiklah dan berdialoglah dengan hatimu.
Di miqat, kita diminta berhenti sejenak. Bukan sekadar menghentikan langkah, tetapi menghentikan diri dari segala kesibukan dunia yang telah lama membebani jiwa. Di sini, kita diajak melepaskan satu per satu lapisan dunia: pakaian kebanggaan, harta yang dikumpulkan, gelar, status, dan semua atribut yang dulu kita pakai untuk mendefinisikan diri. Semuanya ditinggalkan.
Kini, yang tersisa hanyalah dua helai kain putih yang sederhana—tanpa hiasan, tanpa kemewahan. Dan di balik kesederhanaan itu, tersimpan satu pengakuan yang agung: bahwa kita ini hamba, lemah dan hina, berdiri di hadapan Tuhan Yang Maha Tinggi. Tak ada lagi yang bisa dibanggakan, kecuali kerendahan hati dan kesiapan untuk kembali. Di sini, jiwa dibersihkan, langkah dipertegas, dan hati seyogianya siap untuk menyambut panggilan Allah dengan penuh kerendahan hati.
Karena itu, maka di sini, di miqat, kesombongan sudah harus ditanggalkan dan memulai mengenakan pakaian ketundukan.
Tanah Haram bukan tanah biasa. Di sana, Allah turunkan ketenangan, cahaya, dan pengampunan. Tapi untuk bisa masuk ke dalamnya, kita harus bersih, lahir dan batin. Itulah sebabnya, sebelum melangkah ke Makkah, kita harus melewati miqat—sebuah batas suci. Kita diminta untuk mengucapkan talbiyah, tanda bahwa kita datang bukan untuk sekadar wisata, tapi untuk memenuhi panggilan Allah: "Labbaik Allāhumma labbaik." "Aku datang memenuhi panggilan-Mu, ya Allah."
Banyak orang naik haji. Tapi tidak semua datang dengan perasaan terpanggil, tidak semua datang sebagai tamu. Miqat hadir untuk menyadarkan kita bahwa ini bukan perjalanan biasa. Ini adalah ziarah cinta, pertemuan hamba dengan Tuhannya. Di sini, di miqat ini kita kembali menata niat, menata lisan, menata sikap, lalu berjalan menuju Allah dengan penuh harap dan juga takut.
Miqat, tidak dimulai dari kaki, tapi dari hati. Ketika kita berdiri di miqat, kita sebenarnya sedang berdiri di hadapan pilihan besar: Apakah kita benar-benar ingin berubah? Apakah kita mau melepaskan dunia demi Allah? Atau kita hanya menukar pakaian, tapi hati masih tertambat pada dunia?
Jika di miqat kita bisa jujur pada diri sendiri, dan melangkah dengan hati yang bersih, maka insyaAllah—di Tanah Haram nanti, kita bukan hanya sampai ke Ka‘bah, tapi juga akan sampai kepada Allah.
Semoga Allah izinkan kita semua sampai di miqat.
(Tamangapa, Grand Aroeppala)