Tawaf Wada’, semacam peluk terakhir yang tanpa suara. Ia seperti doa yang tak lagi diucapkan, tapi terbenam di dalam dada. Dan dada itu, penuh dengan serpih-serpih pengalaman. Yang lucu. Yang getir. Yang menyakitkan. Yang membingungkan. Yang akhirnya pelan-pelan jadi kenangan.

Ada yang mengeluh karena pengaturan penempatan hotel oleh syarikah yang membuat terpisah, padahal ia datang dengan, Istri, ibu, suami dan anaknya. Ada yang jalan kaki dari Muzdalifah ke Mina. Bukan karena ingin olah raga. Tapi karena bus tak kunjung datang. Karena arus sudah macet. Ada yang ditolak masuk tenda Arafah. Nama tidak ada dalam daftar. Petugas tak kenal. Ketua Kloter dan pembimbing ibadah entah di mana. “Saya ini bukan pencuri, Pak,” katanya pelan. Tapi tenda tetap tidak untuknya. Maka dia pun bersila di tanah, menggelar sajadah, menengadah, dan Arafah pun jadi saksi. Ada yang kehilangan koper. Ada yang kehilangan sandal. Ada yang kehilangan sabar. Tapi di tengah itu semua, tak ada yang kehilangan Allah. Karena di haji ini, Allah tidak berjarak. Ia terlalu dekat. Bahkan saat barang hilang pun, Dia masih mengajar. “Itu hanya barang, wahai hamba-Ku. Tapi Aku tetap bersamamu.”

Ada yang terpisah dari orang tua. Ada yang kehilangan jejak suami. Ada yang bingung cari istri di tengah lautan rombongan. Tapi semuanya pulang dengan satu cerita: bahwa ketika yang dicintai itu tidak tampak, kita belajar mencintai Allah yang tak pernah pergi.

Waktu pulang, waktu Tawaf Wada’, semua cerita itu tidak ikut thawaf. Tapi entah bagaimana, ia terasa menempel di dada. Kau berputar, dan ingatanmu ikut berputar. Tentang malam-malam tenda yang panas. Tentang desakan orang yang rebutan toilet. Tentang makanan yang datang telat. Tentang tubuh-tubuh yang kelelahan tapi tetap bersyukur. Lalu kau sadar, ternyata semua itu adalah bagian dari ibadah.

Bukan sekadar sabar. Tapi latihan pasrah. Bukan sekadar kecewa. Tapi latihan ridha. Bukan sekadar kuat. Tapi latihan mencintai Allah lewat segala kejadian, yang enak maupun tidak enak, Karena haji bukan jalan bebas hambatan. Ia adalah padang makrifat. Di sanalah kita disuruh belajar ulang tentang cinta yang tanpa syarat, sabar yang tanpa batas, dan ibadah yang tanpa pamrih.

Kita ini makhluk yang serba ingin tahu: "Kenapa saya harus jalan kaki?" "Kenapa saya diusir dari tenda?" "Kenapa koper saya tak sampai?" “Kenapa saya terpisah dari keluarga saya”? Saat tawaf wada’ keingin tahuan kita, layak diubah dengan bertanya begini: "Kenapa Allah masih mau menyapa saya lewat semua ini?" Sebab, di dalam yang Nampak semrawut, disitulah letak kebijaksanaan. Dalam kehilangan itulah tersimpan teguran. Dan dalam capek, marah, bingung, bahkan tersesat, di sanalah sering kali justru kita menemukan Allah, lebih nyata, lebih dekat, lebih lembut daripada dalam khutbah-khutbah resmi.

Maka kini, saat kau menatap Ka’bah untuk terakhir kalinya, jangan hanya menangis karena takut tak bisa kembali. Menangislah karena kau tahu, Allah telah mengajarkanmu lewat cara-Nya sendiri. Bukan lewat seminar. Bukan lewat buku. Tapi lewat hilangnya sandal. Lewat panasnya tenda. Lewat sepinya malam Mina. Lewat cucuran keringat Muzdalifah. Itu semua bukan gangguan dalam ibadahmu. Itu adalah ibadahmu. Itu bukan cobaan yang menghalangi. Itu adalah jalan yang menuntun. Dan kalau kau cukup peka, kau akan sadar: Allah sedang membentukmu, bukan menyiksamu. Allah sedang menyentuhmu, bukan meninggalkanmu.

Maka maafkanlah semuanya. Maafkan syarikah. Maafkan bus yang tak datang. Maafkan tenda yang penuh. Maafkan siapa pun yang sempat menyakiti selama di tanah suci. Dan lebih dari itu: maafkan dirimu. Karena engkau pun pernah kurang sabar. Pernah membentak. Pernah mengeluh. Pernah merasa engkau lebih tahu.
Sekarang, sudah saatnya kita kembali. Tapi jangan kembali sebagai orang yang sama.

Kita pernah thawaf dengan peluh dan tangis. Pernah lempar jumrah dengan berat hati. Pernah tidur beralas tikar tipis dan langit luas. Kini saatnya kita pulang. Bukan hanya bawa kurma dan air zamzam. Tapi bawa satu pelajaran besar: bahwa hidup ini, seluruhnya, adalah perjalanan dari satu tawaf ke tawaf berikutnya. Dan Allah tetap menjadi pusat yang kita kelilingi, meski tak selalu tampak dalam bentuk Ka’bah. Dan kalau suatu hari nanti hidupmu kembali penuh kemacetan, kehilangan, keterpisahan, dan kemarahan, ingatlah: kau sudah pernah melewatinya, dan itu saat engkau menunaikan rukun Islam yang kelima, dengan biaya yang besar, namun tetap bisa tersenyum.

Di Tanah Suci, Allah mengajarkan bahwa setiap kejadian adalah kitab. Dan setiap kesulitan adalah ayat. Tinggal kau mau membacanya dan mengertinya, atau terus mengeluhkannya.

Ya Allah, rumah ini adalah rumah-Mu.
Aku hanyalah hamba-Mu, anak dari hamba-Mu laki-laki dan perempuan. Engkaulah yang telah membawaku ke sini, dengan segala kemudahan dari-Mu. Kau telah membimbing setiap langkahku hingga tiba di Tanah Suci-Mu, dan hanya karena anugerah-Mu aku dapat menyempurnakan ibadah haji ini.

Jika Engkau telah meridhai diriku, maka tambahkanlah keridhaan-Mu.
Namun jika belum, maka ampuni aku saat ini juga, sebelum aku benar-benar meninggalkan rumah-Mu ini, sebelum jarak memisahkan raga dan hati.

Kini saatnya aku pulang. Jangan jadikan aku orang yang berpaling dari-Mu atau meninggalkan ingatan pada rumah-Mu. Jangan biarkan aku pergi dengan hati yang benci atau meninggalkan-Mu dengan kesombongan yang tersisa.

Ya Allah, anugerahkanlah kepadaku kesehatan tubuh dan kekuatan menjaga agamaku.
Jaga aku dalam perjalanan pulang, dan teguhkan taatku selama hidup. Satukanlah untukku kebaikan dunia dan akhirat—kesungguhan berbuat dan keikhlasan dalam diam.

Ya Allah, jangan jadikan perpisahan ini sebagai akhir kunjungan hatiku kepada rumah-Mu. Namun Jika memang inilah akhir terakhirku, maka gantilah dengan surga-Mu, ya Rahman, ya Rahim—waha Engkau Yang Kasih-Mu melebihi segala kasih. 


اللَّهُمَّ اجْعَلْهُ حَجًّا مَبْرُورًا، وَسَعْيًا مَشْكُورًا، وَذَنْبًا مَغْفُورًا، وَعَمَلًا صَالِحًا مَقْبُولًا، وَتِجَارَةً لَنْ تَبُورَ، وَارْزُقْنَا العَوْدَ إِلَى بَيْتِكَ الحَرَامِ فِي عَامٍ قَادِمٍ، مَعَ المَغْفِرَةِ وَالسَّلَامَةِ وَالإِيمَانِ، يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ.

“Ya Allah, jadikanlah haji kami sebagai haji yang mabrur, sa’I kami sebagai sa’i yang disyukuri, dosa kami sebagai dosa yang diampuni, amal kami sebagai amal yang diterima, dan Perniagaan kami sebagai perniagaan yang tidak merugi. Anugerahkanlah kami rezeki untuk kembali lagi ke rumah-Mu yang suci, bersama ampunan, keselamatan, dan keimanan. Wahai Tuhan Yang Maha Pengasih Penyayang.” * USAI.