Gambar Seri-20. Haji. Tawaf Ifadhah “Tawaf Ifadhah: Antara Akhir dan Awal Perjalanan Jiwa”


Seringkali apa yang kita kira sebagai akhir, hanyalah tempat singgah yang singkat, momen untuk beristirahat dan menyiapkan langkah menuju permulaan yang sesungguhnya. Di tengah lautan manusia yang mendesak, tubuh-tubuh bergerak perlahan mengitari rumah yang disebut-sebut sebagai poros semesta. Ka‘bah. Di sana, semua hasrat terbenam, luruh menjadi satu tujuan Tunggal, Menyempurnakan. Tawaf Ifadhah, kata para ulama, adalah rukun yang tak boleh ditinggalkan. Tapi bagi banyak jiwa yang telah melewati malam Arafah dan lontaran di Mina, tawaf ini seperti titik akhir dari sebuah kepasrahan panjang. Tapi benarkah ini akhir?

Saya ingat, melihat seorang laki-laki tua menggandeng cucunya. Ia tak terburu-buru. Langkahnya terhitung, ucapannya nyaris tak terdengar. Tapi ia terus mengulang-ulang doa, entah untuk siapa. Di sudut lain, seorang Perempuan muda terisak dalam diam. Mungkin karena tubuh yang letih, atau barangkali ia sendiri tak mengerti mengapa air matanya tak berhenti mengalir. Mungkin juga karena ia merasa ada yang tak sepenuhnya selesai, meski tawafnya hampir rampung.

Tawaf Ifadhah bukan hanya putaran penutup dari rukun haji. Ia adalah jejak yang menapak di atas lantai suci, dalam kepadatan langkah dan lirih doa yang mungkin tak terdengar, tapi sangat terasa. Secara lahir, kita telah menyelesaikan manasik. Kewajiban telah tertunaikan, tanda syariat telah kita patuhi. Tapi di balik itu semua, ada tanya yang mengendap di kedalaman jiwa: apa yang sungguh-sungguh telah berubah dalam diriku?

Kita mungkin melepas kain ihram, tapi jangan pernah melepaskan kehambaan. Kita bisa meninggalkan Tanah Suci, tapi jangan tinggalkan kesadaran bahwa Allah selalu dekat, di setiap hela napas, di setiap detik perjuangan hidup sepulang haji. Tawaf Ifadhah adalah perhentian, tempat di mana kita diam-diam bertanya, bukan pada orang lain, tapi pada diri sendiri: Apa yang sesungguhnya telah selesai? Dan apa yang harus benar-benar dimulai dari titik ini?

Tawaf, kata seorang sufi, adalah simbol dari keteraturan cinta. Terus berputar, seolah tak berpindah tempat, namun tiap jejak justru membawa semakin dekat ke pusat segalanya: Allah Swt. Maka Tawaf Ifadhah, dalam makna terdalam, bukan hanya ritual penutup, melainkan pembuka jalan menuju bentuk kehidupan baru. 

Kita telah berdiri dalam padang Arafah, telah melempar nafsu di Jumrah, dan mendekat dalam sunyi di  Muzdalifah. Maka kini, saat tubuh kita menyempurnakan putaran tawaf, jiwa kita diajak untuk merumuskan ulang arah. Sebab, setelah ini kita pulang. Bukan kembali ke hotel, bukan pula menuju Jeddah, melainkan pulang ke kehidupan lama, yang kini menanti untuk dijalani dengan hati yang telah diperbarui. Itu kalau kita mau. 

Pada masa lampau, para peziarah menggoreskan kata-kata untuk diri sendiri, menangkap gema jiwa mereka, bukan hanya mencatat urusan duniawi. Mereka takut, setelah meninggalkan Tanah Suci, qalbu mereka malah membeku dan kehilangan kelembutan. Sebab mereka paham: ujian sejati bukan berada di keramaian pasar Makkah, melainkan di sudut-sudut lama kehidupan yang kembali menyambut di rumah. Mungkinkah jiwa ini benar-benar terlahir kembali setelah semua ini berlalu?

Tawaf Ifadhah adalah bab terakhir dari prosesi ibadah haji. Namun kisahnya belum usai. Di saat itu, di antara desakan manusia dan napas yang tersengal, kita kembali menguatkan latihan kesabaran. Sabar tanpa keluhan, sabar yang tidak menuntut dipahami. Lalu hati mendengar sesuatu, lirih namun dalam, seolah dibisikkan dari langit: “Selesaikan putaran-putaran ini. Tapi jangan kau akhiri perjalanan hatimu. Aku tak hanya menunggu di sisi Ka'bah. Aku menanti di ruang-ruang sunyi kehidupanmu.”

Maka pulang bukanlah kembali semata ke alamat yang biasa, melainkan kembali kepada ikrar yang pernah kita bisikkan dalam sujud, janji untuk menjadi hamba dalam segala cuaca jiwa, dalam ramai dan sepi, dalam musim tangis maupun tawa. Kita mungkin akan mengganti kain ihram dengan pakaian harian, tapi jangan pernah menanggalkan rasa menjadi tamu-Nya. Sebab sejatinya, siapa pun yang pernah datang ke rumah-Nya, semestinya pulang dengan hati yang telah berumah pada-Nya.

Tawaf ini adalah tanda bahwa tak ada jarak sejauh apa pun, tak ada keramaian serapat apa pun, yang dapat menghalangi pencarian batin yang sungguh-sungguh. Saya tak ingin mengatakan bahwa semua orang akan berubah setelah haji. Tapi saya percaya, setiap orang pernah merasa disentuh, walau sesaat. Entah saat melihat Ka‘bah untuk pertama kali, entah saat menggigil di Arafah, entah saat mencium Hajar Aswad, atau, saat menyelesaikan Tawaf Ifadhah dan tersadar: “Aku telah sampai.”

Tapi apa makna sampai, jika kita tak tahu ke mana akan melangkah setelahnya? Yang terpenting bukanlah telah berhaji, tapi menjadi orang yang telah berhaji. Dalam makna: ia menjadi lebih rendah hati, lebih jujur, lebih berserah.

Tawaf Ifadhah bisa menjadi akhir dari sebuah perjalanan fisik. Tapi ia juga harus menjadi awal dari perjalanan spiritual yang lebih dalam, dan lebih menantang. Kita tidak lagi berjalan dalam kerumunan. Kita kembali berjalan sendirian. Tapi kali ini, semoga arah kita telah lurus, dan porosnya tak lagi bergeser. Tawaf mengajarkan satu hal: kita tak bisa menempuh jalan spiritual dengan garis lurus. Ia adalah putaran, jatuh-bangun, hilang-temu. Tapi selama porosnya adalah Allah, kita akan sampai. Kita akan terus pulang. Sedikit demi sedikit. Setiap hari. Hingga akhirnya, benar-benar sampai. **