Gambar Seri-19 Haji. Mina 3 Sunyi dan Bosan yang Tak kita Mengerti


Seorang lelaki tua duduk termenung di depan tenda, memandangi kaki-kaki yang memijak kerikil dengan berat. Ia tak bicara. Ia hanya duduk, seperti mendengar sesuatu yang tak didengar oleh orang lain, atau mungkin sedang menunggu sesuatu yang sudah tak akan datang. Tatkala seseorang tersenyum dan menyapa, ia balas tersenyum pendek dan berkata, “Ini Mina terakhir saya.” Lalu diam lagi. Seperti orang yang baru saja menulis puisi, tapi kehilangan kata terakhirnya.

Ada kebosanan yang tak bisa dielakkan di Mina. Hari-hari di tenda Mina, setelah hampir seluruh lontaran jumrah dilakukan, waktu menganga seperti ruang kosong. Tubuh letih tapi tidak bisa tidur. Hati riuh tapi tak tahu kepada siapa harus bicara. Di Mina, tak ada aktivitas spiritual tertata seperti saat wukuf, tak ada kemewahan. Yang ada hanya tenda, bau keringat, dengus AC yang suaranya seperti motor rusak, dan jam tangan yang lajunya terasa begitu lambat.
Lalu ada bisikan hati yang bosan, mirip keluhan, “Untuk apa berlama-lama di Mina? Kenapa tidak langsung pulang?”

Pertanyaan itu terdengar biasa, nyaris wajar, namun diam-diam menyimpan kegelisahan yang lebih dalam. Jerit jiwa yang tak sabar dengan keheningan, yang gelisah jika tak terus-menerus diguncang haru. Memang banyak yang datang ke Mina dengan harapan menemukan momen-momen yang mengguncang jiwa, mengejar detik-detik penuh getar dan makna. Padahal ibadah sejati  justru menuntut kesediaan untuk hadir utuh dalam setiap bagian dari perjalanan, termasuk bagian-bagian sunyi dan pengulangan. Pada semua itulah ketulusan diuji, dalam kesabaran menyertai ritus, tanpa pamrih. Menerima gerak waktu yang terasa lamban, menerima rasa hati yang tak tahu harus menjadi seperti siapa. 

Ibn Atha’illah menyiratkan: “Kadang Allah menunda apa yang kamu harapkan, agar kamu belajar bersabar. Sebab sabar itu sendiri adalah anugerah yang lebih tinggi dari apa yang kamu harapkan.”

Karena semangat mengejar hasil, membuat kita jarang menyadari bahwa jeda dan diam juga adalah bagian dari wujud penghambaan. Dalam jeda itulah, seseorang belajar berserah. Dalam kebosanan itu, Allah menguji: "Dan sungguh Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berilah kabar gembira bagi orang-orang yang sabar." (QS. al-Baqarah: 155)

Sunyi dalam pandangan sufi adalah panggilan Ilahi. Sunyi yang menantang untuk direnungi, bukan dihindari. “Siapa yang mengenal Tuhan, ia tidak lagi peduli pada sempit atau lapang, ramai atau sunyi.” Dan Mina adalah tempat kita belajar mengenal-Nya, tanpa panggung, tanpa pertunjukan, tanpa hadiah-hadiah perasaan yang instan.

Dalam bosan itulah, kita dipaksa melihat diri kita sendiri. Tidak ada kemasan. Tidak ada panggung. Hanya kita, dan suara hati kita yang tiba-tiba terasa asing. Seperti bertemu dengan sahabat lama yang entah sejak kapan kita hindari. Kebosanan adalah cermin. Cermin yang jujur, yang memperlihatkan apapun, meskipun kita tak berharap untuk melihatnya.  Maka kita gelisah, lalu menyalahkan tempat. Menyalahkan tenda. Menyalahkan jarak. Padahal yang membuat kita tak nyaman seringkali bukan ruang, tapi bayangan kita sendiri yang muncul dalam ruang itu. 

Mina, yang tampak seperti perhentian sementara yang sunyi, sebenarnya adalah laboratorium batin yang agung. Di sana, kita diundang untuk menyembelih segala penyakit hati yang mungkin selama ini bersemayam tanpa disadari: kesombongan, keinginan instan, dan gelisah tak beralasan. Setiap lontaran ke jamaraat adalah, simbol penolakan pada setan-setan jiwa yang telah lama menguasai diri. Namun sesudah itu, saat waktu melambat, barulah ujian sebenarnya dimulai — bagaimana kita berdamai dengan kekosongan, bagaimana kita menata ulang jiwa yang terkadang merasa hilang arah.

Mengobati kebosanan di Mina bukan dengan mencari hiburan atau kegaduhan, melainkan dengan menyambut sunyi sebagai sahabat, mengizinkan jiwa bernafas tanpa tekanan untuk selalu merasa “berhasil” atau “terharu.” Menjadi cukup dengan hadir, cukup dengan menerima. Seperti air yang tenang, yang diamnya bukan mati, tapi menyimpan kekuatan dalam kedalaman.

Lelaki tua itu benar, “Ini Mina terakhir saya.” Tapi mungkin ia juga ingin mengatakan: inilah pertama kalinya saya benar-benar bertemu diri saya sendiri. Dan semoga, di tengah bising AC yang seakan ingin rubuh, di antara napas memburu para jamaah yang kelelahan, diam-diam kita diperdengarkan suara halus ditelinga kita, dari sebuah firman yang lembut, "Sesungguhnya Aku bersama orang-orang yang sabar."
(QS. al-Baqarah: 153)
Mina jangan dimaknai hanya sebagai tempat menunggu. Mina seyogyanya dipahami sebagai  ruang untuk belajar sabar, ruang yang mengajarkan arti ikhlas dalam ketidakpastian, dan ruang untuk menjemput makna yang lebih dalam dari sebuah perpisahan. Bukan perpisahan dengan tanah suci yang fana, melainkan perpisahan dengan segala yang selama ini menahan kita untuk benar-benar bebas.

Maka, jika kebosanan datang, jangan buru-buru lari darinya. Terimalah dan nikmatilah pengajaran yang selama ini luput dari kesadaran kita bahwa, kerelaan menerima rasa apapun adalah pintu menuju keberkahan yang tidak pernah habis, dan Mina adalah saksi bisu dari perjalanan itu. **