Gambar Seri-18. Haji Mina 2 Melontar yang Tak Tampak


Di Mina, orang melontar. Batu kecil, sebesar ruas ibu jari, tujuh kali. Lalu berpindah. Lalu melempar lagi. Lalu pindah. Begitu seterusnya. Seolah-olah yang dilempar itu adalah sesuatu yang jahat, sesuatu yang harus dienyahkan: setan. Tapi siapa yang melihat setan? Siapa yang dapat melihatnya, menunjuknya dan berkata, “Itu dia, aku akan melemparnya”? Tak seorang pun. Yang berdiri di sana hanyalah tiga tugu beton lebar dan besar. Diam. Tak bergerak. Tanpa perlawanan. Seperti patung, yang jika tidak dijelaskan maknanya, tidak lebih dari penanda tanpa isi. 

Tapi syariat, telah menetapkannya sebagai simbol. Maka kerumunan jamaah yang tak terhitung jumlahnya pun bergerak ke sana, dengan hasrat yang seragam namun alasan dan pemaknaan yang berbeda. Orang melempar tugu-tugu itu seperti ingin menyelesaikan sesuatu yang tak kelihatan. Dan memang, yang dilempar bukan sekadar batu. Yang sedang dihadapi adalah sesuatu yang lebih samar: diri kita sendiri.

Pada setiap langkah menuju jumrah, kita membawa banyak kerikil, kita membawa kebiasaan buruk, dan motif-motif tersembunyi yang tak sempat kita akui. Kita membawa bayangan dari diri yang selama ini kita banggakan, tapi sesungguhnya menyesakkan. Diri yang suka memegang, tapi tak pandai melepaskan.

Ketika tangan mengangkat batu itu, seharusnya bukan hanya sebagai isyarat melawan setan luar, tapi lebih dari itu: sebagai niat untuk menolak hasrat-hasrat dalam diri yang membuat kita jauh dari Tuhan. Yang membuat kita mencintai pujian lebih dari kejujuran, memburu sorot mata orang lain lebih dari keridhaan-Nya. Jika begitu, lontar jumrah menjadi perjumpaan antara ritual dan kejujuran batin. Dan mungkin, itulah inti dari ibadah: mengembalikan kita kepada sesuatu yang lebih hening, lebih dalam, dan lebih jujur—meskipun tak terlihat oleh siapa pun.

Di masa kecil, kita belajar bahwa setan adalah makhluk hitam, bertanduk, bertaring. Seiring bertambah usia, gambar itu menghilang. Tapi bisikannya tetap tinggal. Dan semakin halus. Ia hadir bukan dengan ancaman, tapi bujukan. Bukan dengan teriakan, tapi logika. Sampai akhirnya, kita mendapati bahwa yang lebih sering menjatuhkan kita bukanlah setan dari luar, melainkan sesuatu yang tumbuh di dalam: nafsu.

Kata itu, “nafsu”, telah menjadi klise. Tapi justru karena terlalu sering disebut, kita kehilangan rasa terhadapnya. Ia jadi kata kosong, seperti sabda yang terlalu sering diulang tanpa permenungan. Padahal nafsu itu bukan sekadar hasrat akan kenikmatan. Ia adalah pusat tarikan jiwa. Ia yang membuat kita mencari pujian, menghindari aib, menumpuk citra, menyusun kemenangan. Ia bisa berupa keinginan untuk menang dalam perdebatan. Untuk terlihat bijak di mata murid. Untuk disebut dermawan di hadapan kaum fakir. Bahkan saat kita ingin berdoa lebih khusyuk, kadang ada bisikan kecil di dalam: agar dilihat lebih taat.

Di hadapan tugu jumrah, kita diberi kesempatan untuk melihat itu semua. Tapi tidak semua orang ingin melihat. Tidak semua orang ingin berhadapan dengan cermin yang tak memihak. Karena melihat ke dalam berarti membuka luka. Melihat ke dalam berarti menyadari bahwa selama ini, banyak yang kita tutupi dengan ibadah. Bahwa amal bisa menjadi kedok. Bahwa doa bisa menjadi alat dagang. Bahwa surga kadang lebih kita impikan bukan karena Tuhan, tapi karena ingin menang dari orang lain.

Maka lontar jumrah bisa menjadi panggung, tapi juga bisa menjadi pertaruhan. Apakah batu itu benar-benar mewakili nafsu yang ingin kita lepas, atau hanya batu yang dilemparkan karena semua orang melakukannya? 
“Jangan hanya melontar jumrah, tapi lontarlah nafsu yang ada dalam dirimu.”

Kalimat itu tak berteriak. Tapi ia menusuk. Karena ia mengandung gugatan yang pelan, tapi tegas. Seperti bisikan hati nurani yang sudah lama kita diamkan. Apa yang benar-benar kita lemparkan saat batu itu melayang? Mungkin bukan kemarahan. Karena kita masih menyimpannya. Mungkin bukan kesombongan. Karena kita masih ingin dilihat rendah hati. Mungkin bukan iri. Karena kita masih ingin orang lain kehilangan.

Dan di sinilah problem utamanya: tidak semua yang tampak seperti ibadah adalah penyucian. Tidak semua yang kelihatan, benar-benar mengubah batin. Ritual adalah bentuk. Tapi bentuk itu perlu isi. Dan isi hanya bisa lahir dari perenungan. Dari kejujuran.

Saya membayangkan seseorang berdiri di hadapan tugu itu. Ia tidak langsung melempar. Ia menunduk. Ia memejamkan mata. Lalu bertanya pada dirinya sendiri: “Yang mana dari diriku yang paling menyakitkan orang lain?” “Yang mana dari diriku yang membuatku menjauh dari Tuhan?” “Yang mana dari keangkuhanku yang membuatku bersembunyi di balik agama?”

Pertanyaan-pertanyaan itu bukan untuk dijawab dengan cepat. Tapi untuk didiamkan sampai terasa. Setelah itu ia mulai mengangkat tangannya, menggenggam batu kecil itu, dan melempar dengan tangis diam-diam. Karena sesungguhnya, yang dilempar bukanlah setan. Tapi nafsu yang selama ini melekat seperti debu di lipatan jiwa. Dan siapa pun yang pernah menepuk debu dari bajunya tahu: yang tampak bersih pun bisa menyimpan kotoran yang halus.

Di Mina, orang melempar batu. Tapi tak semua orang melempar dirinya sendiri. Tak semua orang kembali dari sana dengan ringan. Sebagian hanya pulang dengan koper lebih berat dan hati yang tetap penuh. Penuh amarah yang belum sembuh. Penuh luka yang belum dilepas. Penuh keinginan untuk dikagumi, disanjung, dimenangkan. Dan jika demikian, mungkin kita harus bertanya: Sudahkah benar-benar terjadi pelontaran? Atau baru sebatas gerakan tanpa makna? Baru sekadar prosesi tanpa jiwa?

Lontar jumrah, dalam pengertian terdalam, adalah seni melepaskan. Melepaskan diri dari diri yang palsu. Diri yang dibentuk oleh pujian, oleh trauma, oleh kebanggaan yang tipis. Ia bukan gerakan fisik. Ia adalah pernyataan eksistensial: Bahwa kita tidak ingin hidup terus-menerus dikuasai oleh sesuatu yang menutup wajah asli kita di hadapan Tuhan.

Dan jika itu bisa dimulai, walau hanya sekali, maka mungkin satu batu kecil itu sudah cukup untuk menggeser gunung. Gunung nafsu dalam diri.**