Gambar Seri-17. Haji. Mina 1 Sabar yang diuji di Mina


Di antara semua tempat yang dilewati para tamu Allah dalam perjalanan haji, Mina mungkin adalah yang paling padat, paling sesak, paling sederhana—dan paling menguji jiwa. Di sinilah, lebih dari 1,67 juta orang berkumpul dalam ruang sempit yang secara matematis sulit dipercaya bisa menampung mereka semua. Luasan Mina hanya sekitar 7,82 kilometer persegi. Jika dibagi rata, setiap orang hanya memiliki kurang dari satu meter persegi ruang untuk beraktivitas, beristirahat, dan bertahan. Dan dalam ruang sempit itulah, Allah menyimpan pelajaran besar: tentang sabar.

Mina adalah madrasah ruhani, tempat manusia diuji bukan hanya melalui ibadah formal, tapi oleh situasi yang menggerus kenyamanan. Tidak ada ranjang empuk, tak ada ruang privat, bahkan tak ada jaminan tidur nyenyak. Yang ada hanya suara-suara dari segala penjuru, antrian panjang, udara gerah, sesak napas, dan tenda-tenda putih yang sempit. 

Namun, justru di tengah kesemrawutan itu, Allah menyaring hamba-hamba pilihan-Nya. Orang-orang yang sabar di Mina adalah mereka yang lulus dalam ujian yang tidak diumumkan dengan pengeras suara, tetapi terasa di dalam hati. Ujian bagaimana menghadapi sesama dengan sabar, menahan emosi saat tubuh lelah, tetap tersenyum saat semuanya terasa tak ideal. “Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar” (QS. al-Baqarah [2]: 153). Ayat ini seolah menjadi pelindung hati bagi mereka yang tabah menanggung sempitnya Mina.

Sabar di Mina bukanlah sabar biasa. Ia adalah sabar yang direntangkan sepanjang hari dan malam. Sabar yang aktif: memberi ruang kepada yang lain, menahan ego untuk tidak mendahului, menahan lidah dari keluh kesah, mendahulukan orang lain dalam antrian meski lutut sendiri gemetar. Ini adalah sabar yang menyucikan: sabar yang meleburkan sifat buruk, yang selama ini mungkin tersembunyi di balik kenyamanan hidup.

Mina selain tempat bagi jamaah haji melakukan mabit selama tiga hari, Ia juga adalah tempat melontar jumrah, melempar batu ke arah simbolik setan, namun sejatinya melempar nafsu kita sendiri. Nafsu ingin selalu nyaman. Nafsu untuk memarahi keadaan. Nafsu untuk mengeluh dan menuntut. Melontar jumrah adalah latihan simbolik bahwa di dunia ini ada hal-hal yang harus kita lawan—bukan dengan kekerasan, tapi dengan kedewasaan jiwa. Nabi ﷺ bersabda:
"Haji adalah Arafah, dan melontar jumrah adalah meneguhkan hati atas janji kepada Allah."
(HR. Ahmad)

Dan sesungguhnya, tidak ada senjata yang lebih kuat dari sabar. Sabar bukanlah kelemahan, tapi kekuatan yang mengendap dalam diam. Di Mina, Allah seakan menempatkan kita dalam kondisi paling rentan untuk melihat: apakah sabar benar-benar telah tumbuh dalam hati? Apakah kita mampu bersabar bukan di masjid yang tenang atau rumah yang nyaman, tapi di lorong-lorong tenda yang sempit dan berdebu?
Imam al-Ghazali kurang lebih mengisyaratkan demikian: “Sabar itu ibarat kepala bagi tubuh iman. Maka, siapa yang tidak memiliki sabar, seakan-akan ia tidak memiliki iman.”

Di sini keikhlasan dibutuhkan. Keikhlasan yang mampu menanggung sesak tanpa meracau, menelan jengkel tanpa memuntahkannya kepada orang lain.
Lalu di mina pun kita bercukur. Bercukur adalah simbol ketundukan. Kita rela menggugurkan sebagian dari diri kita sebagai penanda bahwa kita telah berubah. Bahwa kita ingin pulang bukan hanya dengan kepala yang bersih, tetapi dengan hati yang lebih lapang, lebih sabar, lebih lembut terhadap takdir.
Semua ini terjadi di Mina. Di tanah sempit yang menyempitkan raga, tapi melapangkan jiwa. Sebab sesungguhnya, kesempitan fisik adalah jembatan menuju keluasan batin. Tak ada tempat belajar sabar yang lebih efektif dari tempat yang memaksa kita untuk sabar secara total.

Dan pada akhirnya, sabar itu akan menjadi mahkota jiwa. Sabar itulah yang membedakan antara haji yang hanya menyelesaikan rangkaian ibadah dengan haji yang mentransformasi jiwa. Orang yang sabar di Mina biasanya akan sabar pula saat kembali ke negerinya. Ia lebih tahan terhadap tekanan hidup, lebih tenang menghadapi masalah, dan lebih ridha dalam menerima ketetapan Allah.
Karena sabar di Mina bukanlah sabar karena tak punya pilihan, tapi sabar karena kita sadar: inilah jalan Ibrahim, inilah jejak Ismail, dan inilah tanda keikhlasan kita kepada Tuhan.**