Gambar Seri-16. Haji. Muzdalifah. Mendekat dalam Tidur, Menyatu dalam Zikir


لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَبْتَغُوا فَضْلًا مِّن رَّبِّكُمْ ۚ فَإِذَا أَفَضْتُم مِّنْ عَرَفَاتٍ فَاذْكُرُوا اللَّهَ عِندَ الْمَشْعَرِ الْحَرَامِ ۚ وَاذْكُرُوهُ كَمَا هَدَاكُمْ وَإِن كُنتُم مِّن قَبْلِهِ لَمِنَ الضَّالِّينَ.

“Tidak ada dosa bagimu untuk mencari karunia (rezeki hasil perniagaan) dari Tuhanmu. Maka apabila kamu telah bertolak dari Arafah, berdzikirlah kepada Allah di al-Masy‘ar al-Ḥarām. Dan berdzikirlah (kepada-Nya) sebagaimana Dia telah memberi petunjuk kepadamu, dan sesungguhnya kamu sebelumnya benar-benar termasuk orang-orang yang sesat.” (al Baqarah; 198)

Di antara hamparan suci Tanah Haram, Muzdalifah kerap luput dari perenungan batiniah. Ia menjadi transit antara Arafah dan Mina, hanya disinggahi semalam. Jika dimaknai secara mendalam, Muzdalifah adalah titik penting tempat jiwa menyerap makna keheningan setelah tangisan kesadaran jiwa di Arafah. Para peziarah mungkin menganggapnya jeda, tetapi bagi para arifin, inilah malam pendekatan hakiki, malam kembali ke dalam setelah jiwa dilingkupi kebesaran dan kehadiran-Nya.

Secara leksikal, kata Muzdalifah berasal dari akar kata ز-ل-ف (z-l-f) yang berarti "mendekat" atau "bergerak menuju kedekatan". Kata ini juga melahirkan istilah zulfa, seperti dalam ayat: "وَعِندَهُ حُسْنُ الْمَآبِ وَزُلْفَىٰ" — “dan di sisi-Nya tempat kembali yang baik dan kedekatan (zulfa)” (QS. Saba’: 37). Dari ayat ini ditemukan makna, bahwa Muzdalifah berarti tempat pendekatan. Mendekat menuju Allah. 

Setelah prosesi wukuf penuh getar di Arafah, manusia seperti larut dan melebur dalam limpahan ampunan dan makrifat. Lalu malam datang. Nabi ﷺ tiba di Muzdalifah dan memberi teladan mengejutkan: beliau menjama’ Maghrib dan Isya secara takhir, lalu langsung tidur. Tidak ada qiyamul-lail, tidak ada untaian doa panjang, bahkan tidak banyak bicara. Hanya tidur. Dan setelah Subuh, barulah beliau berdiri menghadap kiblat dan berzikir hingga terang.

Bagi kaum sufi, ini bukan tindakan biasa. Ini adalah ajaran halus tentang jalan ruhani setelah terbitnya kesadaran jiwa. Kesadaran jiwa itu, mesti dilembutkan dalam diam, ditenangkan dalam tidur, dihimpun dalam sunyi. Muzdalifah adalah tempat bagi jiwa untuk menata kembali ketenangan setelah diliputi limpahan rasa dan kedalaman pengalaman spiritual di Arafah. Setelah tenggelam dalam tangis dan keharuan, jiwa singgah di sini untuk menghimpun kesadaran, menenangkan getaran batin, dan menyatukan kembali rasa yang sempat mengalir, dalam perjumpaan dengan Sang Kekasih. Di Muzdalifah, jiwa belajar hening, agar bisa kembali melangkah dengan utuh.

Imam al-Ghazali dalam Ihya’ Ulumuddin menjelaskan bahwa tidur yang diniatkan untuk ibadah dan penguatan diri adalah bagian dari ibadah itu sendiri. Tidur Nabi ﷺ bukanlah kelalaian, melainkan bentuk penyerahan total, menunjukkan bahwa kehadiran kepada Allah tidak selalu melalui gerak; kadang justru dalam keheningan mutlak.

Sheikh Abu Madyan al-Ghawts kurang lebih mengisyaratkan bahwa Orang-orang yang telah sampai tidak lagi menyebut-Nya dengan lisan, karena mereka tenggelam dalam kehadiran. Maka tidur Nabi di Muzdalifah mengajarkan bahwa terkadang diam lebih dalam daripada kata-kata, dan pasrah lebih tinggi dari usaha. Inilah dimensi ruhani yang kerap terlewat: titik diam sebagai puncak keintiman.

Di Muzdalifah pula, para jamaah mengumpulkan batu untuk melontar jumrah di Mina. Secara lahir, ini adalah persiapan logistik. Namun secara batin, pengumpulan batu adalah lambang persiapan diri untuk melawan hawa nafsu. Setiap batu adalah niat, kesadaran, dan tekad. Tapi semua itu hanya bisa dilakukan setelah jiwa ditenangkan. Maka di sinilah pentingnya tidur: sebelum melawan iblis luar, hancurkan kelelahan dalam. Sebelum menghadapi Mina, diamlah di Muzdalifah.

Saat Subuh tiba, Nabi ﷺ tidak tergesa. Beliau salat, lalu berzikir dalam jangka waktu yang panjang. Tidak tergesa menuju Mina. Zikir setelah Subuh ini menyiratkan bahwa kehadiran spiritual butuh kesiapan batin. Subuh adalah fajar kesadaran. Bila malam Muzdalifah adalah kematian ego, maka Subuhnya adalah kelahiran kembali ruhani yang segar, jernih, dan siap menghadapi tantangan baru.

Al-Qur’an menyebut Muzdalifah dengan istilah al-Masy‘ar al-Ḥarām (QS. al-Baqarah: 198). Masy‘ar berasal dari akar kata sya‘ara, yang berarti “merasakan”, “menyadari”. Maka di tempat ini, kesadaran yang halus muncul. Kesadaran bahwa Allah sangat dekat dalam diam, dalam tidur yang berserah, dalam fajar yang lembut.

Bagi para sufi, Muzdalifah adalah maqām al-taslim, maqam penyerahan total. Jika Arafah adalah maqam makrifat atau kesadaran jiwa dan Mina adalah maqam jihad melawan nafsu, maka Muzdalifah adalah maqam al-jam‘, tempat penyatuan rasa, tempat pengendapan ruhani, tempat menahan diri dari gegabah agar segala yang diperoleh di Arafah tidak tercecer saat tiba di Mina.

Di sanalah ruh kembali utuh. Di sanalah kesadaran dikokohkan. Di sanalah, dalam tidur dan zikir yang bergantian, manusia mendekat secara penuh—bukan hanya jasadnya menuju Mina, tapi hatinya menuju Tuhan.

Karena itu, jangan buru-buru meninggalkan Muzdalifah. Di sanalah pelajaran tentang kedekatan sejati tersimpan rapi. Dalam sunyi. Dalam tidur. Dalam zikir fajar. Dalam pengumpulan batu-batu kecil—yang ternyata adalah pengumpulan niat-niat besar untuk pengorbanan esok hari.*